Disway

Angga Titin

AMEG – Lupakan angka Covid-19. Yang Indonesia menjadi juara dunia itu. Bikin stres saja.

Lebih baik baca Disway hari ini: bagaimana orang masih bisa kreatif di tengah pandemi. Mereka juga sangat bahagia: bisa tetap melangsungkan pernikahan. Biar pun akad nikah itu harus dilakukan di dalam bus –sambil muter-muter antar kecamatan.

Itu dilakukan Angga Hayu Joko Siswoyo, 26 tahun. Ia orang Klaten, Jateng. Yang mendapat istri orang Boyolali: Titin Rachmatul Ummah, 23 tahun, adik angkatan satu almamater.

Baca Juga

Sebenarnya Angga ingin kawin normal: 11 Juli 2021. Tempat perkawinan pun sudah diputuskan: di rumah calon istri. Di desa Gesikan, kecamatan Sambi. Di rumah itu juga, rencananya, akan dilangsungkan resepsi perkawinan.

Angga sudah mengantongi izin. Ia pun mulai menyebarkan undangan: 700 orang. Uang muka tenda dibayar. Demikian juga uang muka konsumsi, sound system, dan sewa meja-kursi.

Tiba-tiba izin dicabut.

Wabah Covid menggila lagi di Jateng, Jakarta dan Jatim. Lalu merajalela juga ke mana-mana.

Tapi perkawinan harus tetap berlangsung. Muncullah ide itu: kawin di dalam bus. Ide yang orisinal dan kreatif. Cocok pula dengan usaha Angga: tour and travel.

Ide itu memang muncul dari Angga. Tapi sebenarnya bukan untuk dirinya. Ide itu awalnya untuk dijual ke umum: perusahaan Angga sanggup menyelenggarakan perkawinan di dalam bus. “Nggak tahunya konsumen pertamanya saya sendiri,” ujarnya lantas tertawa.

Tahun 2017, Angga mulai mencoba usaha. Bikin CV. Bersama dua temannya sesama alumnus STIEAAS (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Amanat Akuntansi Surakarta). Nama CV itu: ABSN Tour & Travel. Itu singkatan nama tiga serangkai tersebut.

Usaha mereka adalah: penyelenggara piknik. Termasuk ikut tender perjalanan wisata. Sukses. Sebulan bisa tiga kali tur. Terjauh ke Bali.

Begitu pandemi, usaha itu kiamat. Pernah ada ide bikin kafe berjalan. Sewa bus. Kursinya dibuat berhadap-hadapan. Sekali perjalanan harus 25 orang. Berangkat dari Klaten –home base Angga. Tujuan: Gunung Kidul, atau Jogja, atau Semarang.

Tidak laku.

Pernah ada yang mendaftar, tapi tidak pernah mencapai 25 orang. “Paling banyak 18 orang,” kata Angga. “Kami tidak jadi berangkat. Tidak balik modal,” tambahnya.

Lalu muncul ide layanan kawinan berjalan. Belum sampai mendapat konsumen, izin perkawinannya sendiri dicabut. Jadilah ide itu dipakai sendiri.

Angga sudah punya langganan bus. Dari Klaten. Pukul 04.00 bus sudah berangkat dari Klaten ke rumah pengantin perempuan. Pukul 07.00 bus berangkat menuju KUA di ibu kota kecamatan Sambi.

Kapasitas bus itu 35 orang. Tapi hanya diisi 12 orang: pengantin, bapak-ibu-adik pengantin laki dan perempuan, dua saksi, dan MC.

“Sengaja diisi 12 orang saja agar bisa jaga jarak,” ujar Angga.

Bus berhenti di KUA (kantor urusan agama) untuk menjemput petugas perkawinan dari negara. Begitu petugas naik, bus berjalan lagi. Menuju kecamatan Simo. Bus berjalan pelan sekali. Hanya sekitar 20 Km/jam.

Acara pertama di dalam bus:  langsung akad nikah. Dengan mas kawin gelang dan kalung emas. Beratnya 10 gram. Disertai perangkat salat. Lancar. Perkawinan pun dinyatakan sah. Surat kawin diberikan saat itu juga, di dalam bus.

Begitu sampai di kecamatan Simo acara pernikahan sudah selesai. Tapi petugas KUA harus dipulangkan dulu ke kantornya. Akan ada perkawinan yang lain.

Maka bus pun kembali ke KUA.

Begitu petugas sudah turun, bus berangkat lagi menuju pintu tol Kartosuro, Solo. Masuk tol. Menuju arah Semarang.

Sampai di rest area Salatiga bus mampir. Berhenti. Ada acara foto-foto di situ: berfoto bersama pengantin. Sekali berfoto maksimum empat orang. Maka mereka turun bergantian.

Bus pun melaju lagi di jalan tol. Menuju arah Bawen. Di sepanjang perjalanan dilakukanlah acara perkawinan berikutnya: serah terima pengantin. Seperti biasa di adat Jawa. Ada pidato penyerahan dari orang tua pengantin laki-laki ke orang tua pengantin perempuan. Lalu ada pidato penerimaan.

Bus terus melaju naik turun di jalan tol antara Salatiga-Bawen.

Tinggal satu acara resmi lagi: sungkeman. Meja akad nikah dicopot. Orang tua duduk di kursi bus paling depan. Area meja tadi untuk pengantin berjongkok: sungkem.

Begitu sampai di Bawen semua acara sudah selesai. Bus keluar di pintu tol Bawen untuk masuk lagi ke pintu tol Bawen. Kembali ke arah Boyolali.

Dalam perjalanan pulang inilah acara hiburan diadakan: karaoke. Lagu-lagu Jawa dinyanyikan. Khususnya lagu-lagu Didi Kempot. Juga lagu Rhoma Irama.

Yang paling pinter menyanyi adalah ibunda pengantin wanita: guru madrasah. Dia menyanyikan lagu Pengantin Baru.

Ayah pengantin wanita seorang buruh. Ia menyanyi lagu Ani-nya Rhoma Irama.

Hanya ayah-ibu pengantin pria yang tidak mau menyanyi. “Tidak bisa menyanyi. Bisanya jualan sayur di pasar,” ujar Angga. Angga-Titin telah menjadikan hidupnya sebagai pertanda sejarah. Seratus tahun lagi, ketika mungkin ada pandemi yang lain lagi, ide Angga bisa dipakai lagi. (*)


Editor : Sugeng Irawan
Publisher : Rizal Prayoga
Sumber : Harian Di's Way

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button