Regional

Besok, Dua Saksi Kunci dari Jawa Timur Laporkan Sekolah SPI ke Polda

AMEG – Komnas Perlindungan Anak menduga masih banyak siswa/alumnus Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu yang belum berani mengadu atas pengalaman pahit yang mereka dapatkan selama berada di sekolah tersebut. Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengungkapkan. Setelah ada laporan dan pemberitaan seperti itu, dirinya menerima empat pengaduan baru.

“Ada empat pengaduan baru yang saya terima. Satu pada hari Rabu kemarin. Sedangkan tiga lainnya saya terima hari ini,” ujar Arist kepada ameg.id, Kamis (3/6/2021). Empat orang tersebut mengadu secara langsung kepada dirinya melalui pesan singkat Whatsapp. Empat pengadu baru itu, berasal dari daerah yang ada di seluruh Indonesia.

“Selain itu, juga ada seorang ibu yang bercerita. Bahwa putranya sempat bersekolah di situ selama tujuh bulan. Namun selama di sana, dia mendapati putranya mengalami kekerasan fisik. Dengan adanya perlakuan itu, ibu tersebut langsung menarik putranya untuk pulang,” beber Arist.

Baca Juga

Sementara itu, untuk siswa/alumni Sekolah SPI yang ingin mengadu, pihaknya bersama Polda Jatim telah memfasilitasi dengan nomor hotline yang bisa dimanfaatkan. “Pengaduan melalui hotline Polda Jatim, hingga saat ini, sudah ada sekitar empat sampai lima anak. Jumlah itu dimungkinkan bisa terus bertambah,” ujar Arist.

Semakin banyaknya aduan, merupakan suatu hal yang sangat baik. Karena bisa memperkuat informasi sebagai bukti hukum yang bisa diteruskan ke Polda Jatim.

“Adanya hal ini membuat kami semakin gembira. Karena dengan banyaknya orang yang mengadu, saya kira ini merupakan suatu pembenaran terhadap peristiwa tersebut,” ujarnya.

Ia menjelaskan, salah satu faktor yang membuat siswa/alumni tidak berani mengadu. Ketika berada di dalam sekolah, adalah faktor eksploitasi kemiskinan. Lantaran, semua anak yang berada di sekolah itu, bercita-cita mendapatkan pendidikan gratis. Namun kenyataannya tidak sama dengan yang diharapkan.

“Faktor utama yang menyebabkan mereka tidak berani melapor adalah tekanan ekonomi. Karena siswa yang ada di sana, memiliki latar belakang dari keluarga kurang beruntung,” tegasnya.

BACA JUGA:

Soal Testimoni Siswa Alumni Sekolah SPI, Begini Jawaban Pengelola Sekolah

Ini Testimoni Siswa Sekolah SPI Kota Batu

Dewanti Tekankan, Pembelajaran Sekolah SPI Harus Tetap Berjalan Baik

Regional

Gerak Cepat Evaluasi Sekolah SPI

Pihaknya bersama Polda Jatim senantiasa melindungi siswa/alumni Sekolah SPI yang telah mengadu dan yang akan mengadu. Maka dari itu, dia mengimbau kepada siswa/alumni yang mengalami perlakuan sama, agar segera melayangkan pengaduan.

Arist juga merespon salah satu narasumber yang memberikan kesaksiannya kepada ameg.id kemarin. Sumber ini, belum berani melapor lantaran takut menambah beban orang tuanya. Ia menjelaskan, hal tersebut dipengaruhi oleh faktor psikologis. Sehingga anak tersebut merasa khawatir terhadap kondisi orang tuannya. Selain itu, juga menghawatirkan cita-citanya tidak tercapai.

“Yang membuat anak itu belum melapor, karena ada tekanan psikologis yang berbenturan dengan harapan orang tua. Sehingga hal tersebut membuat beban pada kondisi psikologisnya,” katanya.

Sementara itu, Arist mengungkapkan, hingga saat ini sudah ada 12 pelapor resmi melaporkan dugaan kasus tersebut ke Polda Jatim. Rinciannya: tiga pelapor hari Sabtu (29/5/2021) dan sembilan pelapor Rabu (2/6/2021).

“Besok, Jumat (4/6/2021) akan ada dua saksi kunci. Berasal dari wilayah Jawa Timur yang akan turut melapor dan memberikan kesaksiannya kepada tim penyidik Polda Jatim,” terangnya.

Jika ditotalkan, maka sudah ada 14 terduga korban yang melapor secara resmi ke Polda Jatim. Sedangkan, jika ditotal dengan merunut pengaduan baru yang belum dilaporkan secara resmi, disinyalir jumlah terduga korban lebih dari 20 anak.

Arist mengungkapkan mengenai tindak kekerasan fisik yang terjadi di sekolah tersebut. Ketika sekolah akan kedatangan tamu atau donatur. Semua peserta didik telah disiapkan skenario dan skrip yang akan disampaikan. Ketika dalam praktiknya tidak sesuai, maka terjadilah kekerasan fisik. Berupa tamparan dan makian yang dilakukan pemilik sekolah.

“Ini merupakan bentuk-bentuk kekerasan fisik dan eksploitasi ekonomi. Selain menampar, mereka juga akan memberikan hukuman berupa siraman air saat peserta didik sedang beristirahat karena kelelahan,” tandasnya.  (*)

Ananto Wibowo

Recent Posts

{{ keyword }}

{{ text }} {{ links }}

4 bulan ago

{{ keyword }}

{{ text }} {{ links }}

4 bulan ago

{{ keyword }}

{{ text }} {{ links }}

4 bulan ago

Real Count Sirekap Dihentikan, Sudirman Said Menilai Pemilu 2024 Bermasalah

AMEG.ID, Indonesia - Co Kapten Timnas Pemenang Anies-Muhaimin Sudirman Said menyebut penghentian tayangan real count…

7 bulan ago

Aksi Massa Dukung Proses Hukum Soal Dugaan Korupsi Ganjar Pranowo

AMEG.ID, Indonesia - Massa yang merupakan aliansi masyarakat Jawa Tengah menggelar aksi di depan kantor…

7 bulan ago

Dindik Jatim Bekali Ratusan Guru untuk Hadapi Era Digital

AMEG.ID, Jawa Timur - Dinas Pendidikan Jawa Timur membekali ratusan guru untuk siap menghadapi tantangan…

7 bulan ago

This website uses cookies.