Nasional

Dhio Racun Ayah Ibu dan Kakak, Apakah Salah Asuh?

Beli arsenik online, Dhio Daffa Syadilla (22) niat membunuh: Ayah Abas Ahar (58) ibu Heri Riyani (54) kakak Dhea Chairunisa (25), di Magelang, Jateng, Rabu (23/11). Ternyata gagal. Diulangi Senin (28/11) sukses.

***

TIGA korban, tewas di kamar mandi berbeda di rumah cukup mewah keluarga itu di Mertoyudan, Magelang. Diduga, saat jelang ajal mereka menuju kamar mandi bersamaan.

Baca Juga

Di percobaan pembunuhan pertama, pelaku sama, korban sama, pada Rabu (23/11) para korban hanya muntah-mencret. Lalu, diduga dosis arsenik ditingkatkan pada pembunuhan ke dua.

Kasus ini menghebohkan Jateng. Warga heran. Keluarga itu terdiri empat orang tersebut. Pelaku Dhio anak bungsu. Kondisi ekonomi keluarga tergolong cukup. Apa motifnya?

Konstruksi perkara: Profil korban. Abas Ahar, Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Kementerian Keuangan, Kabupaten Grobogan. Ia pensiun 1 Oktober 2022.

Heri Riyani, ibu rumah tangga. Dhea Chairunisa pegawai PT KAI Yogyakarta, yang sudah mengundurkan diri sebulan lalu. Sedangkan pelaku, tidak kuliah tidak bekerja.

Senin, 28 November 2022 pagi. Dhio menelepon pembantu rumah tangga keluarga itu, Sartinah (45) yang tinggal di dusun sebelah, tapi tidak jauh. Sartinah sudah membantu keluarga itu sejak 2007.

Sartinah kepada pers: “Saya dihubungi Dhio, katanya ibu bapak dan kakaknya pingsan. Saya cepat-cepat datang.”

Waktu Sartinah tiba di TKP pukul 07.30, kondisi korban tergeletak di tiga kamar mandi berbeda. Di rumah itu ada tiga kamar mandi. Lantas, Sartinah bersama Dhio mengankat para korban satu per satu. Dibawa ke kamar masing-masing.

Sartinah: “Kondisi semuanya tidak sadar. Saya olesi minyak kayu putih. Trus Pakde (tetangga) datang ikut membantu mengolesi minyak ke tubuh Bapak (Abas Ahar). Badan mereka hangat.”

Lalu, Dhio menelepon omnya, Agus Kustiardo (58) yang kakak Heri Riyani. Rumahnya dekat. Segera tiba di TKP.

Agus kepada pers: “Kondisi Abas, juga adik saya, dan keponakan Dhea semuanya pingsan. Saya ikut mengolesi minya kayu putih.”

Hampir bersamaan, tim polisi tiba di TKP. Langsung, polisi bertanya kepada semua orang di situ tentang kronologi penemuan tiga orang pingsan. Saat itu juga, dua korban, Abas dan Dhea dilarikan ke RS.

Satu korban lagi, Heri Riyani masih di rumah menunggu mobil atau ambulance. Selang beberapa waktu, Heri Riyani diangkut juga ke RS.

Sementara itu, sebagian polisi melakukan olah TKP, sebagian lainnya membawa Dhio ke Mapolres Magelang, dimintai keterangan lebih lanjut.

Ketiga korban ternyata sudah meninggal di RS. Pihak RSUD Merah Putih, Kabupaten Magelang, menyatakan ketiganya DoA (Death on Arrival).

Di Mapolres Magelang, melalui pemeriksaan intensif, Dhio mengakui. membunuh ayah, ibu dan kakaknya. Alasannya, karena sakit hati.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah, Kombes Djuhandani Raharjo Puro di konferensi pers di Polres Magelang, Selasa, 29 November 2022 menjelaskan:

“Pengakuan tersangka, karena jengkel. Mengaku tak pernah diperhatikan keluarga. Baru-baru ini, terus-terusan tersangka disuruh mencari kerja, sejak ayahnya pensiun. Merasa tak nyaman, tersangka membunuh orang tua dan kakaknya.”

Pembunuhan pertama dilakukan Rabu, 23 November 2022. Dhio membeli arsenik via online. Lantas, ia menaburkan bubuk arsenik ke es dawet untuk sekeluarga. Es dawet diminum ayah, ibu, kakak. Dhio tidak minum.

Spontan, Abas, Heri, Dhea, belingsatan ke kamar mandi. Mereka muntah-mencret. Sorenya, semua yang muntaber pergi ke dokter. Esoknya, mereka sembuh. Tinggal Abas yang masih mengaku sakit perut.

Sekeluarga tidak ada yang curiga, bahwa mereka diracuni. Arsenik ketika ditaburkan ke cairan, tidak mengubah warna, juga tidak berbau.

Minggu, 27 November 2022 Dhio beli arsenik lagi, via online lagi, dalam jumlah lebih besar. Arsenik itu kemudian ditaburkan ke kopi milik ayahnya, dan teh milik ibu dan kakaknya.

Sekitar pukul 07.00 Senin, 28 November 2022, tiga korban minum kopi dan teh masing-masing. Mereka tewas.

Apakah motif pembunuhan cuma sederhana begitu?

Kombes Djuhandani: “Pengakuan tersangka begitu. Ia disuruh kerja oleh orang tua untuk kebutuhan sehari-hari keluarga. Tersangka ogah. Ia persoalkan, kakaknya malah keluar dari tempat kerja. Tapi, penyelidikan terus berlangsung.”

Para korban seketika diotopsi. Hasilnya mengerikan.

Kombes Djuhandani: “Hasil otopsi, bagian tenggorokan sampai lambung semua korban kondisi terbakar. Rusak total. Ini pembunuhan sadis.”

Tersangka dijerat Pasal 340 KUHP, pembunuhan berencana. Ancaman hukuman pidana mati, setidaknya pidana penjara seumur hidup. Para korban dimakamkan sore harinya di TPU Sasono Loyo, Dusun Prajenan, Magelang.

Sulit dinalar, pemuda disuruh kerja oleh ortu, ogah. Malah balas membunuh. Mengapa bisa begitu?

Dr Sherry A. Thompson dalam makalah ilmiah bertajuk, “Youthful Parricide: Child Abuse is Not the Primary Motivator” yang dimuat di Journal of Criminological Research, 2019, menyebutkan, ada tiga jenis pembunuhan anak terhadap ortu:

Matricide, pembunuhan oleh anak terhadap ibu. Patricide, pembunuhan oleh anak terhadap ayah. Parricide, pembunuhan oleh anak terhadap ayah dan ibu, atau juga anggota keluarga lain. Mayoritas (98 persen) pelaku anak laki.

Berdasar data Parricide Prevention Institute, lembaga penelitian yang didirikan Dr Sherry A. Thompson, Parricide umumnya dilakukan anak usia 8 sampai 24 tahun. Ada lima motif pelaku:

1) Masalah kontrol (38 persen). Pelaku merasa dikontrol terlalu ketat oleh ortu. Sehingga pelaku merasa tertekan. Misal, pembatasan penggunaan telepon, telepon disita ortu, pembatasan pergaulan dengan teman tertentu.

2) Masalah uang (10 persen). Pelaku mengincar uang milik ortu. Misal, masalah warisan, masalah asuransi jiwa ortu, menginginkan uang untuk pesta yang tidak disetujui ortu.

3) Penghentian penyalahgunaan miras dan narkoba (8 persen). Ortu berubapa menghentikan anak kecanduan miras atau narkoba, lalu ortu dibunuh anak.

4) Kemarahan mendadak (8 persen). Latar belakang kemarahan beragam. Bisa karena suatu kasus, atau masalah yang sudah bertumpuk-tumpuk.

5) Menginginkan kehidupan yang berbeda (7 persen). Pelaku menginginkan bentuk kehidupan berbeda, tapi ortu melarang. Misal, pelaku ingin tinggal dengan orang tua asuh. Karena, sebelumnya pelaku sempat dirawat ortu asuh.

Sisanya (29 persen) tak terdeteksi pada riset yang digelar Parricide Prevention Institute.

Makalah Thompson yang hasil riset itu, sebenarnya membantah teori sebelumnya, bahwa pembunuhan anak terhadap ortu, akibat anak ingin mengakhiri pelecehan ortu terhadap anak. Menurut Thomson, motif itu nyaris tidak ditemukan pada riset.

Kalau pun di riset lain ada, atau pernah terjadi anak yang dilecehkan ortu kemudian balas membunub ortu, jumlahnya sangat kecil. Jadi, dianggap tidak mewakili motif.

Di kasus Magelang, para tetangga keluarga Abas dalam wawancara dengan wartawan, mengatakan, tidak menduga Dhio tega membunuh begitu rupa. Karena, Dhio dikenal baik dan pendiam.

Kepala Desa Mertoyudan, Eko Sungkono, yang tetangga korban selama 20 tahun ini, kepada pers mengatakan: “Saya enggak nyangka. Kok bisa? Kami enggak pernah dengar kejanggalan-kejanggalan.”

Khusus terhadap pelaku Dhio, menurutnya, anak baik pendiam. Ikut pengajian di kampungnya, dan rajin salat. “Saya enggak tahu, apa yang salah.”

Teori Dr Sherry A. Thompson, kecil kemungkinan anak pembunuh ortu akibat pelecehan anak oleh ortu di masa lalu. Tapi, dari perspektif anak, bisa saja anak merasa terabaikan di masa kecil.

Dikutip dari The Washington Post, terbitan 13 Mei 1984, bertajuk “Kids Who Kill Parents”, ditulis Lawrence Meyer, menyebutkan, bisa saja anak menyimpan dendam akibat pengabaian ortu terhadap anak di masa lalu.

The Washington Post di situ mengutip pendapat Psikolog Forensik, Dennis Harrison, yang telah mewawancarai 20 anak pembunuh salah satu atau kedua ortu, semua pembunuh mengaku, mereka diabaikan ortu di masa kecil.

Dijelaskan Harrison, sejumlah kecil pembunuhan dilakukan oleh psikotik dan anak-anak di bawah pengaruh obat-obatan. Tapi, sebagian besar dilakukan oleh dua jenis anak, yang di masa kecil mengalani ini:

1) Korban kekerasan fisik yang terang-terangan. Dipukuli secara fisik.

2) Korban pelecehan psikologis yang halus, terselubung, dan tidak terlihat bagi orang luar. Bahkan, tidak disengaja oleh ortu, yang tujuannya malah baik, untuk memacu agar anak lebih bersemangat hidup.

Dennis Harrison mengatakan: “Kami sering melihatnya. Dan semua ceritanya sama. Para tetangga berkata: Tidak mungkin anak itu tega membunuh orang tua, karena ia anak baik. Juga, teman-teman pembunuh mengatakan: Ia anak baik, tidak kelihatan nakal.”

Tapi faktanya, anak itu membunuh ortu. Dan, semua orang yang mengenal keluarga tersebut, heran.

Ulasan The Washington Post cuma analisis pakar psikologi forensik. Yang bisa jadi pelajaran bagi semua ortu dalam mendidik anak. Kalau anak terlalu dimanja, tentu bakal tidak dewasa. Sebaliknya, terlalu ketat disiplin juga bisa berakibat negatif terhadap anak.

Keluar dari teori apa pun, di kasus Magelang, Dhio mengaku ke polisi, bahwa ia didesak ortu disuruh kerja untuk membantu kehidupan keluarga. Ditilik dari usia Dhio, ia sudah cukup waktu untuk bekerja. Apalagi, Abas baru saja pensiun.

Kendati, perkara ini masih disidik polisi. Semua hal masih digali polisi, yang kelak perkaranya akan dilimpahkan di pengadilan. Saat itulah akan terungkap motifnya. (*)


Editor : Irawan
Publisher : Ameg.id
Sumber : Ameg.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button