Disway

Harapan Kanjuruhan

KANJURUHAN barangkali akan jadi tumbal untuk lahirnya dua era Baru. Pertama, rukunnya suporter Aremania dan Bonek. Aremanita dan Bonita.

Kedua, era dimulainya streaming menggantikan live TV.

Soal kerukunan itu pernah ada sejarahnya. Tsunami Aceh. Bencana besar itu langsung mengakhiri perselisihan puluhan tahun antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah Indonesia.

Baca Juga

Tanpa tsunami Aceh tahun 2005, bisa jadi perang masih terus berlangsung. Dan korban terus berjatuhan.

Demikian juga bencana di Stadion Kanjuruhan Malang Sabtu malam lalu. Rasa permusuhan antara Aremania dan Bonek seperti leleh. Ratusan, ribuan, Bonek berkumpul di Tugu Pahlawan Surabaya. Secara spontan. Malam hari kemarin. Mereka menyalakan lilin. Doa untuk Aremania-Aremania. Begitu tulus. Begitu syahdu.

Belum lagi kegiatan kecil-kecil lainnya. Juga kunjungan ke Stadion Kanjuruhan. Semua berduka. Semuanya berdoa. Seperti saudara sendiri. “Kami bertekad hanya akan bersaing untuk 90 menit di lapangan. Selebihnya kami saudara,” kata mereka.

Tragedi Kanjuruhan kelihatannya juga menjadi titik balik dalam sistem siaran langsung sepak bola Indonesia. Tragedi ini sangat mungkin melahirkan era baru: live streaming.

Secara teknologi live streaming sudah mature. Sudah tidak ada masalah. Secara sosial sudah siap.

Memang sebenarnya tidak akan ada stasiun TV yang mau menyiarkan sepak bola pada jam 18.00 – 20.00. Anda sudah tahu: jam-jam itu disebut prime time. Yakni jumlah penonton TV paling banyak. Mereka yang bekerja sudah pulang. Makan malam sudah selesai. Atau sedang berlangsung di depan TV. Keluarga kumpul. Nonton TV.

Ribuan lilin dinyalakan disertai tabur bunga di Tugu Pahlawan untuk mendoakan korban tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang. (Foto: Boy Slamet-Harian Disway)

Kalau pada prime time seperti itu disiarkan sepak bola, yang menonton hanya satu orang: kepala keluarga, ayah. Rugi. Maka pada jam seperti itu yang diputar adalah sinetron. Kian sedih kian baik. Sepak bola hanya mengganggu rating.

Selama ini, sepak bola bisa dimainkan pukul 20.00 pun itu karena stasiun TV-nya sudah berbaik hati. Di mata stasiun TV sebenarnya sepak bola baru baik bila disiarkan pukul 23.00. Ketika anak-anak dan ibu mereka sudah mau tidur.

Pukul 20.00 pun sebenarnya masih termasuk prime time. Karena itu, kalau awalnya, jadwal pertandingan Liga 1 dimulai pukul 20.30. Di Samarinda dan Makassar itu sudah pukul 21.30.

Presiden Persebaya –rasanya saya tahu namanya– sejak awal mempersoalkan jadwal ini. Tidak masuk akal. Bonek mendukungnya. Sang presiden terus menulis artikel mengenai bahaya main terlalu malam. Bonek pun mendukungnya lewat unjuk rasa. Polrestabes Surabaya juga punya pikiran yang sama. Mereka berjuang bersama. Akhirnya jadwal Persebaya berubah: pukul 15.30 semua. Jadwal tim lainnya tetap malam: pukul 20.00. Berubah sedikit. Maju setengah jam.

Rating sepak bola sebenarnya tidak jelek-jelek amat. Masih jauh lebih baik dari pada warta berita. Maka stasiun TV berebut juga untuk mendapatkan hak siar. Sampai ditenderkan: siapa yang mau bayar paling tinggi ialah yang punya hak siar.

Uang itu masuk ke Liga Indonesia Baru (LIB). Sebagian dibagi ke klub-klub Liga 1. Disebut sebagai subsidi untuk klub. Kata subsidi itu diprotes. Itu memang hak klub sebagai pemegang saham PT LIB.

Hampir pasti, ke depan, tidak akan ada pertandingan malam. Jera dengan apa yang terjadi di Kanjuruhan. Itu seperti kembali ke zaman dulu, ketika banyak stadion belum punya lampu sorot.

Bonek menggelar doa bersama di Tugu Pahlawan, Surabaya. (Foto: Boy Slamet-Harian Disway)

Main malam sebenarnya ada asyiknya. Tidak panas. Pemandangan lebih fokus ke lapangan –karena di luar itu gelap. Pun waktu penonton menyanyikan ”lagu kebangsaan” masing-masing, suasananya bisa lebih magis: semua penonton menyalakan flash light dan mengayunkannya ke kanan-kiri.

Tapi jam 20.00 terlalu malam. Yang terbaik tetap malam tapi dimulainya jam 18.00 atau 18.30.

Masalahnya: stasiun TV kurang tertarik. Sepak bola tidak bisa membuat penonton terisak-isak pada jam prime time itu. Kalau saja ada yang meneliti, mungkin jam-jam itulah pemakaian tisu tertinggi di Indonesia.

Tidak semua pertandingan sepak bola ratingnya rendah. Persebaya, Persib, Persija adalah tiga tim teratas dalam hal rating. Lalu Arema, PSIS, dan PSM.

Stasiun TV, kalau boleh, pasti hanya mau membeli pertandingan yang melibatkan enam tim itu. Tapi PT LIB menjualnya secara paket: harus ambil semua.

Maka, untuk jadwal, kita punya tiga pilihan. Main sore dengan hak siar tetap dijual. Tentu dengan harga lebih murah. Enam klub tadi tidak akan keberatan. Dengan main sore pendapatan mereka bertambah: dari penjualan karcis.

Pilihan kedua, main malam hari tapi jam 18.00 dimulai. Kalau stasiun TV tidak berminat mengambilnya tidak masalah. Klub-klub bisa jualan aplikasi live streaming.

Pilihan ketiga, demokrasi. Klub-klub memilih sendiri jadwal masing-masing. Dengan koordinasi dengan kepolisian setempat.

Praktis yang perlu diwaspadai sebenarnya hanyalah pertandingan yang melibatkan enam tim tersebut. Jangan sampai tim lain ikut jadi korban. SOP-pun jangan dibuat sama. SOP yang ketat akan menambah biaya pengamanan. Di luar enam tim tersebut, mungkin, dengan SOP yang paling sederhana pun sudah cukup.

Peristiwa besar selalu melahirkan pemikiran besar. Bukan mematikan harapan besar. (*)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan*

Edisi 4 Oktober 2022: Kanjuruhan Mangindaan

Lukman Nugroho

Abah sangat otoritaif untuk menjelaskan soal sepak bola, beserta dengan thek liwernya. Sebab Abah adalah pelaku sejarah dalam dunia sepak bola. Sangat setuju dan sepakat dengan bahasa bola. Dua kata yang sederhana, tapi mengandung berjuta solusi…

thamrindahlan

Lagu sepasang mata bola / Bukan kisah bola tendang / Pahami benar bahasa bola / Agar musibah tak terulang / Salamsalaman

Jimmy Marta

Bahasa bola. Emosi penonton yg mudah terpancing. Solidaritas antar penonton yg begitu tinggi. Melewati batas perbedaan agama, suku dan bendera. Bahasa bola. Gunakan pendekatan psikolgi pengendalian massa. Emosi jangan dilawan sensi. Solidaritasnya jangan dilawan rasa amarah. Mereka akan bersatu tanpa perlu saling kenal, tanpa tanya asal. Bahasa bola. Bisa disikapi dg pendekatan teknologi. Tiket online. One identity one ticket. Pengawasan via cctv yg lebih diperbaiki. Bahasa bola. Saat persepakbolaan sudah menjadi industri, semua yg terlibat harus profesional. Mengerti dan patuh pd aturan main.

Rizky Dwinanto

Dugaan saya, abah ada di Senayan tahun 96 atau 97. Semifinal Mitra Surabaya lawan Bandung Raya. Kebetulan saya hadir disana. Mitra ketinggalan 0-1, tidak ada kerusuhan berarti. Hanya riak-riak kecil suporter PSM (pertandingan kedua). Tiba-tiba ada satu tabung gas air mata tidak sengaja terlepas (saya tidak yakin hal itu sengaja atau tidak, tapi beritanya di koran benar-benar ghaib). Stadion semegah Senayan bisa bubar. Pemain bertumbangan, penonton harus keluar stadion untuk mengambil napas. Pertandingan harus dihentikan dan dilanjutkan besoknya. Separah itu efek gas air mata satu tabung. Bandingkan dengan di Kanjuruhan.

elang cameria

Ada baiknya meniru NFL di Amerika, utk mengurangi ketegangan atau apa di akhir prtandingan biasanya panpel memutar lagu dan semua satu stadion ikut nyanyi gembira, mungkin disini bisa diputarkan dangdut koplo ya, “ojo dibandingke “misalnya.

Er Gham

Untuk menumbuhkan empati kepada keluarga para korban, ada cara cepat. Pengurus PSSI, panpel, PT LIB, para petugas dapat mencoba masuk ruang tertutup. Lalu dilemparkan gas air mata ke dalam ruang tertutup tersebut. Cukup 15 hitungan saja, lalu keluar. Biar merasakan sedikit ‘suasana’ saat itu.

Fra Wijaya

Sudah begitu jelas ada ratusan jiwa yg meninggal tp tak terdengar satu petinggi atau pejabat yg bersangkutan dgn peristiwa itu yg merasa bersalah dan dgn legowo mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban ke publik,entah polsek,polres,polda,kapolri ataupun ketua PSSI,ini bukan tentang satu atau dua nyawa pak,tp ratusan nyawa,dmn hati nurani panjenengan semua,mosok kalah karo Azrul pak,arek jek winginane ae wes eroh isin eroh sungkan….kanggo korban kabeh,padang dalane jembar kubure yo lorr,mugo² pengorbanan panjenengan sedoyo mboten sia²…Aamiin..

Saifudin Rohmaqèŕqqqààt

Sore itu di stadion Gelora 10 Nopember. Kompetisi perserikatan divisi utama tahun 1987/1988 diadakan. Langit sore itu mendung. Antusias masyarakat surabaya sangat besar. Semua pecinta bola datang. Apa yang terjadi. Stadion tidak muat. Stadion sudah jebol. Penonton memadati pinggir lapangan. Tidak ada jarak antara pemain PSIS semarang dan bonek Surabaya. Betul kata Pak Disway. Pagar kayaknya sudah roboh. Menara lampu stadion di panjat bonek. Nonton dari menara. Papan skor pun pun dengan bonek. Pendukung persebaya. Sore itu benar benar gila. Babak pertama gawang PSIS yang dijaga FX Cahyono, sudah kebobolan satu gol. Mulailah babak kedua. Wasit tidak memulai pertandingan. Penonton sudah di garis lapangan. Hujan pun turun sangat deras. Saya heran mengapa tidak ada yg meninggalkan stadion walau hujan sangat deras. Malah apa yg dilakukan penonton? Yang bawa payung, segera membuka payung. Penonton jaman tahun itu , karena belum ada hp, maka beberapa bawa payung. Sekitar menit 64, persebaya mendapat kesempatan tendangan pojok. Apa yg terjadi? Pemain persebaya waktu itu, Muharram tidak bisa menendang sepakan pojok. Mengapa? Anda semua sudah tahu, area pojok lapangan dikuasai penonton. Akhirnya wasit Jafar Umar yg meminpin pertandingan berlari ke pojok lapangan. “Mingir, minggir sebentar saja. Kasih ruang agar tendangan pojok bisa dilaksanakan”, pinta wasit. Penonton pun taat pada wasit. Salut pada bonek tahun 1987 an. Akhirnya tendangan pojok disepak dengan keras oleh Muharram.

Rebut Sugianto

Yg benar2 gila bola seharusnya yg pegang pssi. Bukan yg gila jabatan, sehingga bola hanya menjadi roda memuluskan ke kursi jabatan politik

Mirza Mirwan

Penonton sepakbola (football spectators) memang unik — terutama pendukung tim yang sedang bertanding. Berbeda dengan penonton olahraga permainan lainnya, seperti: bola basket, voli, bulutangkis, tenis, dan lainnya. Hanya klub sepakbola yang punya pendukung yang tergabung dalam bentuk semacam oraganisasi — entah punya AD/ART atau tidak. Misalnya: The Jakmania (Persija), Bobotoh (Persib), Bonek (Persebaya), Aremania (Arema FC), dan banyak lagi lainnya. Bahkan sama-sama menonton dua tim yang bertanding dengan masing-masing 11 pemain, ternyata juga berbeda dengan penonton American Football, sepakbola Amerika. Di AS, juga Kanada, sepakbola yang di Indonesia induk organisasinya PSSI disebut “soccer”. Di AS, juga Kanada, meskipun disebut “football” aturan mainnya berbeda dengan “football” yang mereka sebut “soccer”. Bola yang digunakan dalam “soccer” bentuknya bulat, harus ditendang atau disundul, tak boleh menyentuh tangan kecuali tangan kiper. Sementara bola dalam “footbal” bentuknya lonjong (oval) lebih bsnyak dimainkan dengan tangan, hanya ditendang kalau ingin memasukkan ke gawang — poin yang dihasilkan dari bola masuk gawang itu masih kalah dengan poin dari membawa lari bola hingga ke garis akhir sejajar gawang. Kembali ke soal penonton. Stadion “football” di AS, juga Kanada, biasanya lebih sesak penonton ketimbang stadion “soccer”. Meski begitu belum pernah terjadi pertandingan, bahkan di babak final, yang berbuntut kerusuhan yang memakan korban jiwa.

Fajar Priokusumo

Selain belajar dari pak Mangindaan dan pak Dahlan, jangan lupakan coach Aji Santoso. Dia sangat paham luar dalam psikologis pemain dan suporter Arema. Maka saat 3 kali Persebaya melesakkan bola ke gawang, coach Aji tidak melakukan selebrasi berlebih. Cukup duduk dan tersenyum saja di bangku cadangan. Coach Aji paham, kalau dia berselebrasi, itu artinya seperti menggarami luka. Salam dukacita untuk semua korban Kanjuruhan. Yang wafat semoga diterima amal ibadahnya. Yang masih luka semoga lekas diberikan kesembuhan. Ayo bal-balan maneh sam….

Agus Suryono

MEMBAYANGKAN SAAT SIDANG KABINET LAGI ISTIRAHAT KOPI.. MENTERI DAHLAN: Saya tidak membayangjan, saat itu Anda akan memerintahkan penonton merobohkan pagar, secara tertib, dan menjadikannya tempat duduk penonton.. MENTERI MANGINDAAN: Saya juga tidak bisa membayangkan, saar kendaraan di pintu tol macet, kemudian ada Menteri yang membuka palangnya, dan menyuruh mobil masuk tol gratis.. MENTERI DAHLAN: Lha itu saya terinspirasi keputusan Anda..

Agus Suryono

MEMBAYANGKAN SUASANA AKPOL SAAT PARA TARUNA LAGI SARAPAN.. TARUNA A:.Jam pertama mata kuliah apa ya..? TARUNA B: Pelajaran Bahasa… TARUNA A: Hah..? Bahasa apa, Inggris, indonesia..? TARUNA B: Bahasa Bola.. TARUNA A: Siapa dosennya..? TARUNA B: Komjenpol Dahlan Iskan..

Hendri Ma’ruf

Pak Dahlan kudu menulis lagi tentang musibah ini khususnya yang menyangkut pihak televisi yang menjadi faktor luar lapangan, tapi menentukan dalam hal jadwal pertandingan supaya tetap di malam hari. Apakah mereka harus juga paham bahasa bola? Mereka tahunya bahasa “rating” dan bahasa “laba”.

Lagarenze 1301

Ada upaya “mengecilkan” tragedi Kanjuruhan dengan membesar-besarkan dua hal secara massif di medsos: 1. PT LIB ngotot pertandingan malam, padahal Polres dan panitia lokal sudah minta ubah jadwal ke sore. 2. Semua terjadi karena suporter masuk lapangan, kalau tidak masuk lapangan tidak akan terjadi apa-apa. Itu logika bengkok. Peristiwa utama adalah 127 orang tewas. Piye? Bisakah kita menutup mata dari aksi aparat keamanan yang bertindak represif dengan memukul dan menendang suporter hingga mereka panik dan berlarian menuju pintu keluar? Bisalah kita menutup mata dari tindakan aparat keamanan yang menembakkan gas air mata ke kerumunan Bahkan, tembakan gas ait mata diarahkan ke tribun penonton hingga membuat situasi semakin chaos, massa panik, sesak napas, berebut ingin keluar, hingga terinjak-injak dan tewas mengenaskan? Begitu banyak video amatir di medsos yang jika dirangkai bisa menggambarkan peristiwa secara utuh. Kapolres dicopot, Brimob penembak gas air mata diperiksa, kalau menurut saya, itu tidak cukup. Mana Ketua Umun PSSI yang memberi kata sambutan untuk masalah Kanjuruhan dengan kalimat “Hadirin yang berbahagia”? Mana Kapolda Jatim yang menyalahkan suporter karena masuk lapangan dan menyebut tembakan gas air mata sudah sesuai SOP? Tak cukup Kapolres dicopot dan Brimob diperiksa…..

Wawan Wibowo

Ngomongin sepakbola memang tidak ada habisnya,apalagi saat terjadi tragedi seperti ini,yang jelas manusia diberi 2 pilihan dari sebuah tragedi,pilihan 1 : segera mengambil langkah-langkah perbaikan, evaluasi total,mengambil pelajaran dari tragedi ini. Pilihan 2 : sibuk mencari kambing hitam dan berharap bergulirnya waktu akan melupakan. Jika memilih pilihan ke 2 resikonya tragedi bisa terulang lagi dimasa depan. Oya pak pry pagi ini memonopoli 4 komen pertama,hahaha

No Name

” Sepakbola adalah Hiburan, bukan Kuburan ” Quote by Hardimen Kotto ( wartawan senior) semalam di CNN Indonesia

Kelender Indonesia Lengkap

Perlu ditambah kurikulum pendidikan polisi, yaitu Mata Pelajaran Bahasa Bola. Hanya yang lulus A yang boleh ikut mengamankan pertandingan bola, tentunya dengan insentif memaday.

Kelender Indonesia Lengkap

Anda sudah tahu penyebabnya, penulis artikel ini beberapa kali mengalaminya sendiri … Jadi begitu membekas, apalagi air kencing dari penonton yang keringatan itu pesingnya level dewa.

Er Gham

Dear FIFA, untuk menurunkan ketegangan dan tensi penonton, sebaiknya pertandingan olahraga diubah menjadi 20 menit x 4. Sehingga ada 3 kali istirahat sepanjang pertandingan. Setiap jeda istirahat bisa hanya 5 menit, tanpa masuk ruang ganti. Namun istirahat setengah pertandingan, atau setelah bermain 2 x 20 menit, bisa berlangsung selama 10 menit, pemain masuk ruang ganti, dan sekaligus bertukar posisi lapangan. Menonton non stop tanpa henti selama 45 menit cenderung menaikkan tensi terlalu lama. Tanpa sadar, penonton berada dalam ketegangan konstan.

*) Dari komentar pembaca http://disway.id


Editor : Irawan
Publisher : Ameg.id
Sumber : Ameg.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button