Tak Berkategori

Irian Jaya, Surga Dunia

INI hanya peristiwa keluarga. Peristiwa biasa saja sebenarnya. Tetapi tak akan pernah saya lupakan, apalagi menyangkut kenangan bersama Papi, panggilan saya pada ayah, Soegijono.

Suatu hari di tahun 1973, kami berlima kakak beradik dengan saya sebagai sulung, dipanggil untuk diajak ngobrol oleh orang tua, Papi dan Mami di ruang tamu rumah kami yang kecil di sebuah jalan sempit di kawasan Jalan Rajawali, Surabaya Utara.

Waktu itu Papi berdinas di Surabaya sebagai Komandan Kodim Surabaya Utara. Saat itu kami sudah sekitar 6 atau 7 tahun tinggal di Surabaya, setelah sebelumnya boyongan dari Malang.

Baca Juga

Kami berlima, masih kecil, duduk di lantai. Sedang Papi dan Mami duduk kursi kayu. Papi minta kami semua mendengarkan dengan baik apa yang hendak dikatakan, bahwa kami semua akan pindah rumah lagi kembali ke Malang.

Kami berlima tidak bisa tenang mendengar penjelasan Papi. Kami protes. Kami keberatan, karena saya sendiri sudah merasa betah tinggal di Surabaya, dengan teman-teman bermain yang tidak sedikit jumlahnya. Saya kira demikian pula adik-adik saya.

Seperti suara koor, kami protes. Saya ingat, Papi seperti merasa kewalahan menghadapi kami, anak-anaknya. Di tengah ā€˜keributan kecilā€™ itu, Mami tiba-tiba membuka suara. Beliau minta kami kembali duduk tertib di lantai. Kami semua mengikuti perintahnya. Diam dan mendengarkan.

Mami menjelaskan, kita harus boyongan lagi ke Malang karena kali ini Papi mendapat tugas yang tidak ringan yaitu menjadi Wali Kota Malang. Kami berlima tetap tidak setuju. Karena kami yang masih anak-anak, saya sendiri ketika itu berumur sekitar 12 tahun, tidak tahu dan tidak mengerti apa itu wali kota.

Kami berlima hanya tahu bahwa Papi adalah seorang tentara, saat itu pangkatnya Letnan Kolonel, setiap hari memakai seragam warna hijau, pakai topi, dengan pangkat di leher baju, menyandang pistol di pinggang, dan berangkat kerja naik jeep warna hijau. Berangkat pagi, pulangnya petang hari dengan mobil yang sama. Wali Kota? Saat itu kami tidak tahu, karena itu kami tidak setuju kalau harus pindah lagi ke Malang.

Kami ingin tetap tinggal di Surabaya karena sudah merasa nyaman dengan teman-teman di kampung. Kalau hendak bertugas di Malang, biar Papi saja yang ke Malang sedang kami tetap di Surabaya. Sejak di Malang dulu, kami sudah terbiasa perpisah dengan Papi yang pergi menjalankan tugas sebagai seorang prajurit. Papi tidak merespon protes kami. Kemudian mengalihkan pembicaraan, kami anak-anaknya, satu persatu meninggalkan ruangan.

Kira-kira seminggu kemudian, pas hari Minggu, Papi memanggil dan mengajak kami ngelencer ke Malang, katanya, untuk berenang. Kami semua senang karena akan berenang, dan sudah tidak ingat lagi rencana boyongan.

Kami berangkat naik mobil. Sampai di Malang menjelang sore, mobil masuk ke halaman sebuah rumah. Tidak ada kolam renangnya. Barang-barang diturunkan dari mobil, hari itu ternyata kami secara resmi pindah ke Malang.

Saya sedih bukan karena tidak jadi berenang, tetapi karena kami tidak sempat mengadakan perpisahan dengan teman-teman semua, baik teman kampung maupun teman-teman sekolah. Sejak itu kami tinggal di Malang, dan kehidupan kami tetap berjalan seperti semula, sederhana tetapi dengan disiplin lumayan ketat sebagai keluarga tentara, padahal Papi kini sudah jadi wali kota.

Seiring dengan jabatan Papi yang kemudian mendapat julukan Ebes, atau ayah dari warga Ngalam, kami berlima tumbuh menjadi remaja, bukan lagi anak-anak. Kami berproses menjadi Arema, dan menjadi dewasa ketika sepuluh tahun kemudian, Papi mendapat tugas baru menjadi Wakil Gubernur Irian Jaya, wilayah Indonesia paling timur. Tugas untuk Papi yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya.

Tapi saya sendiri, bersama adik nomer dua dan nomer tiga, tidak ikut pindah ke Irian Jaya. Yang dibawa Papi dan Mami hanya adik nomer 4 dan si bungsu. Papi tadinya juga bermaksud membawa kami semua, tetapi ketika kami bertiga menolak untuk ikut, Papi apalagi Mami, langsung menyetujuinya.

Meskipun tidak ikut ke Irian, tapi setiap sekolah libur panjang Papi selalu menelpon minta kami berangkat ke Irian. Kami menuruti permintaan Papi berangkat ke Irian, terus terang dengan berat hati.

Penerbangannya lama sekali, sembilan jam, bagi kami sangat menjemukan. Kalau boleh memilih, kami, terutama diri saya sendiri, lebih senang kalau menghabiskan waktu liburan di Malang, bersama teman-teman.

Tapi berangkat ke Irian adalah perintah. Mau tidak mau kami terpaksa harus terbang ke sana meskipun jarak tempuhnya sangat lama, dan saya tidak suka. Setibanya di Jayapura, saya ketika itu merasa sama sekali tidak dapat menikmati liburan. Karena selalu merasa asing, dan daerahnya sepi.

Kalau Papi melakukan kunjungan kerja ke daerah pedalaman, saya sebagai anak sulung selalu diajak, dan ajakan itu juga berarti sebagai perintah, yang tidak boleh dibantah. Waktu itu terus terang saya merasa tertekan.

Selama empat tahun Papi bertugas di Irian, saya hitung sudah lebih dari sepuluh kali mengajak saya ke pedalaman. Kalau pada mulanya saya merasa tertekan, lama kelamaan saya bisa menikmatinya. Bahkan sekarang ini saya merasa beruntung sekali karena dulu almarhum Papi sering mengajak saya ke daerah pedalaman yang natural, alami, asli, bertemu dengan masyarakat yang kental hidup dengan budaya lokal yang masih sangat tradisional.

Hampir tiap bulan Ebes ke pedalaman untuk bertemu dengan warga, yang hampir semua laki-lakinya masih memakai koteka. Kalau melakukan kunjungan itu, Ebes nyaris tidak pernah membawa uang. Tapi di pesawat kecil yang dinaikinya dari ibu kota, selalu tersedia rokok kretek dan bir kaleng. Dua jenis barang itulah yang dijadikan oleh-oleh untuk warga yang didatanginya. Mereka menerimanya dengan suka cita. Kepada mereka Ebes tak pernah memberi uang, karena di daerah mereka, ketika itu, uang tidak ada gunanya.

Kalau pesawat baling-baling kecil berkapasitas 4 atau 5 orang penumpang yang dinaiki Ebes mendarat di landasan berumput di suatu daerah, masyarakat segera menyambut dengan gembira. Mereka menari sambil berteriak-teriak hiruk pikuk menyambut kedatangan Ebes. Itulah tarian tradisional penuh semangat dengan gerakan dinamis yang luar biasa menariknya. Dengan keramahan yang tulus, mereka menerima kami, meskipun dialog Ebes dengan mereka dilakukan dengan bantuan seorang penerjemah.

Salah satu kunjungan kerja Papi yang saya ikuti, yang tak pernah saya lupakan adalah ke pedalaman yang sangat jauh dari Jayapura, yang saya lupa nama daerahnya, sehingga kami harus berangkat pagi-pagi sekali. Kami beberapa jam terbang dengan pesawat kecil, mendarat di suatu lapangan rumput, kemudian pindah ke pesawat yang lebih kecil, lantas terbang lagi.

Setelah terbang sekitar dua jam, pesawat kecil itu kemudian mendarat di sebuah sungai. Turun dari pesawat, kaki kami langsung berada di sebuah perahu. Perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri sungai naik perahu kecil. Menjelang petang, barulah kami tiba di tempat yang dituju. Sungguh, itulah perjalanan dahsyat yang tak bisa saya lupakan seumur hidup.

Dalam keremangan cahaya senja di hutan yang amat lebat, dengan udara yang amat dingin, kami disambut oleh warga yang –maaf, para prianya bahkan tidak berkoteka. Rumah mereka berada di atas pohon. Sementara kebanyakan kaum pria berada di bawah menyambut kami, para wanita dan anak-anak berada di tempat tinggal mereka di atas pohon, yang kemudian ikut turun menyambut kami.

Di tempat yang menurut saya menjadi tempat hunian paling terpencil di tanah air itu, kami bercengkerama dengan warga yang jumlahnya cuma puluhan saja. Dalam gelap dan dingin, tidak ada lampu. Cahaya remang yang selalu bergerak datang hanya dari obor yang ditiup angin. Cahaya bintang tak mampu menembus rindangnya pepohonan.

Kami duduk melingkar. Dalam kegelapan, di mata saya, semua orang kelihatan sangar, tetapi sangat ramah dan tulus dalam menerima kedatangan kami. Kami bercengkerama menikmati sajian makan yang dipersiapkan oleh tokoh adat setempat. Tidak ketinggalan, disajikan pula oleh-oleh yang dibawa Ebes, rokok kretek dan bir kaleng. Dilengkapi dengan sajian tarian tradisional mereka, sungguh sekarang ini saya membayangkannya tengah menyaksikan sebuah film.

Malam itu kami tidur di dalam tenda yang sudah disiapkan oleh misionaris dari Eropa yang sudah bertahun-tahun mendampingi warga. Ketika sudah berbaring di dalam tenda, saya tidak dapat segera memejamkan mata. Bagi saya, Irian Jaya adalah mutiara hitam yang lembut dan indah. Demikian juga warganya yang memiliki karakter khas, karena itu pendekatannya harus dengan cara yang lebih berbudaya.

Banyak sekali pengalaman berharga yang bisa dilihat dan ditemukan di sana. Luas wilayah Irian Jaya kira-kira tiga kali luas Pulau Jawa, tapi dengan jumlah penduduk yang tak lebih dari 3 juta orang. Irian Jaya adalah raksasa yang tidur. Irian Jaya, yang kini namanya diubah jadi Papua, adalah surga dunia yang dianugerahkan Tuhan untuk Indonesia. Anugerah itu harus disyukuri dengan cara yang bijaksana, bukan untuk dimanfaatkan secara membabi buta.

Semarang, 7 April 2022, Sahabat ER.


Editor : Irawan
Publisher : Ameg.id
Sumber : Ameg.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button