Film

Keindahan Musik dan Visual Memanjakan Indera

In The Heights (2021)

AMEG – Kapan kali terakhir Anda menonton film musikal adaptasi Broadway yang bagus? Les Miserables? Chicago? Atau malah West Side Story? Hehe, sudah lama sekali ya. Well, mengangkat naskah Broadway menjadi film musikal memang bukan perkara mudah. Bukan hanya skenarionya yang harus kuat. Produksinya juga harus benar-benar serius.

Dalam lima tahun terakhir, setidaknya ada tiga film musikal bergaya Broadway yang mencuri perhatian. Dan hanya satu yang benar-benar diambil dari drama panggung yang ada di kompleks teater populer New York City tersebut. Yakni Mamma Mia! Here We Go Again (2018). Dua yang lain adalah La La Land (2016) dan The Greatest Showman (2017).

Nah, jika ketiganya menjadi benchmark film musikal pada era 2010 ke atas, maka In the Heights sukses melampaui mereka.

Baca Juga

Film yang tayang mulai 9 Juni ini diproduksi oleh Lin-Manuel Miranda. Yang juga menciptakan (sekaligus membintangi) versi teaternya, sejak 2005. Sejak 2008, pementasan tersebut premiere di Broadway. Dan langsung memborong lima trofi dalam Tony Awards 2008. Termasuk kategori paling bergengsi: Drama Terbaik.

Yang membuat In the Heights begitu berbeda adalah kisahnya. Ia tidak bercerita tentang satu orang. Melainkan sebuah komunitas. Tepatnya komunitas Amerika Latin di kawasann Washington Heights, sebuah kawasan di pinggiran Manhattan. Kebanyakan merupakan imigran generasi pertama dari Karibia. Kuba, Puerto Rico, dan Republik Dominika. Dengan problem mereka masing-masing.

Jangan bayangkan ini film berat. Yang melulu berkisah tentang penderitaan mereka sebagai warga kulit berwarna. Well, diskriminasi rasial, kemiskinan, impian yang kandas, dan kerinduan pada kampung halaman ada dalam daftar masalah yang dihadapi warga komunitas Latin tersebut. Namun, masalah-masalah itu dikemas dengan soft. Tanpa membuat nuansa film jadi terlalu gelap atau melodramatis.

Fokus film ini adalah bagaimana mereka, sebagai komunitas, memecahkan problem bersama-sama. Dengan kekeluargaan yang erat. Yang dihiasi dengan musik rancak, tarian seksi, nyanyian riang, serta kostum aneka warna yang mencerahkan layar. Itu semua berpadu manis dengan segarnya air mancur di musim panas, serta indahnya kembang api di malam tanpa bintang.

Mereka Datang dan Pergi

In the Heights memotret keseharian empat tokoh utama. Ada Usnavi (Anthony Ramos), pemilik toko kelontong kecil. Bersama keponakannya, Sonny, yang masih SMA, ia mengelola toko peninggalan sang ayah itu. Ia naksir berat pada Vanessa (Melissa Barrera), si gadis pegawai salon. Yang punya impian menjadi desainer.

Usnavi (namanya terinspirasi dari kapal perang angkatan laut AS—US NAVY) ingin pulang ke Republik Dominika. Sebab tanah milik ayahnya dulu, yang sempat dimiliki orang lain, sudah dijual kembali. Ia ingin mengajak Sonny. Tapi ternyata tidak bisa. Karena Sonny—ternyata—adalah imigran gelap.

Sementara itu, seorang gadis bernama Nina (Leslie Grace) pulang ke Washington Heights. Dia dianggap cewek paling pintar se-Washington Heights. Putri pengusaha taksi itu sukses menembus Stanford. Namun dia memutuskan drop out dari sekolah. Karena uang kuliahnya sangat mahal. Dan dia mengalami diskriminasi parah.

Merasa sedih dan hancur, Nina bersiap mengubur mimpi menjadi pengacara. Dia menghibur diri dengan balikan dengan sang mantan, Benny (Corey Hawkins). Dia menolak uang dari sang ayah, yang rela menjual perusahaan taksinya demi membayar uang sekolah. Hingga kenyataan tentang Sonny membuka mata dia.

See? In the Heights sebenarnya simpel. Namun, kualitas film tidak melulu soal plot. Di luar ceritanya yang sederhana, film yang disutradarai Jon M. Chu (Crazy Rich Asian, Step Up 2, Step Up 3) itu menyuguhkan pengalaman sinematik yang luar biasa.

Gambarnya super indah. Desain produksinya juara. Setiap sekuen lagu dibuat begitu megah. Di jalan, di air mancur, di kelab, hingga di kolam renang (terutama di kolam renang!), masing-masing bisa menjadi latar klip video Enrique Iglesias. Belum lagi lagu-lagu yang ditulis Miranda sangat memanjakan telinga.

Pace Lambat

Kalau ada satu kritik soal film ini, adalah soal pace. Chu tampaknya bersenang-senang mengeksplorasi setiap warga Washington Heights. Selain empat tokoh utama di atas, ada Abuela (Nenek) Claudia (Olga Merediz). Generasi pertama imigran yang datang pada 1940an.

Seperti ribuan orang dari kampungnya, Nenek Claudia pindah ke AS dengan tujuan mendapat pekerjaan yang bagus. Agar hidup makmur. Kenyataannya, dia menghabiskan hidup dengan menjadi pembantu rumah tangga. Tak pernah punya anak hingga tua. Dan sebagai ganti, dia mengangkat seluruh Washington Heights sebagai buah hati dia.

Ada juga Daniela (Daphne Rubin-Vega), si pemilik salon kecantikan. Dia kenes dan selalu kepo. Agak berisik juga. Tapi ternyata dia berhati emas. Lalu ada Kevin Rosario (Jimmy Smits), ayah Nina. Dan masih banyak lagi. Sesi pengenalan tokoh itu hampir memakan sejam pertama. Baru setelah kejadian mati lampu, pace film berjalan lebih cepat.
Oh ya, film ini berdurasi 2 jam 20 menit. Tapi percayalah. Tidak terasa lama sama sekali. Terutama setelah pemadaman listrik. Tiba-tiba saja kisahnya berjalan lebih lancar dan plotnya lebih runtut.

Penampilan para aktornya begitu menawan. Karena sebagian besar memang aktor Broadway yang sudah biasa menari dan menyanyi. Kalau di La La Land kita takjub melihat Emma Stone dan Ryan Gosling tap dance, di sini kita dibuat ternganga menonton para maestro beraksi. Perbedaan level finesse dalam menciptakan musical number memang begitu besar. Bahkan dibandingkan The Greatest Showman sekalipun.

Pendeknya, In the Heights bukan film musikal yang sempurna. Namun sangat, sangat, sagat enjoyable. Sampai-sampai kita ingin mengulang semuanya. Hanya untuk menonton lagi setiap sekuen lagu. Oh ya, selain scene kolam renang (dalam lagu 96.000), adegan Paciencia y Fe dan When the Sun Goes Down juga pantang dilewatkan. Terbaik! (*)


Editor : Sugeng Irawan
Publisher : Rizal Prayoga
Sumber : Harian Di's Way

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button