Disway

Kertas Mati

SAYA kehilangan satu teman lagi: pengusaha kertas. Winarko Sulistyo. Ia punya kakak yang juga punya pabrik kertas.

Si kakak punya pabrik di Surabaya: PT Surya Kertas. Si adik punya pabrik kertas di timur Jakarta: PT Fajar Surya Wisesa.

Winarko Sulistyo, si adik, meninggal tiga hari lalu. Di Singapura. Dikremasi di sana. Saya mau kirim bunga pun tidak bisa. Tidak dibuka rumah duka di rumahnya di Menteng Jakarta.

Baca Juga

Si kakak, Tirto Sulistyo, sudah lebih dulu meninggal dunia: 2014.

Teman-teman almarhum tahu kakak-adik itu bersaing keras. Dalam keluarga. Juga dalam bisnis. Tidak ada yang mau kalah. Juga tidak mau bicara. Tapi hasilnya bagus. Dua-duanya maju.

Kalau pabrik si adik tambah mesin, si kakak juga beli mesin baru. Mesin baru pabrik kertas selalu lebih besar dan lebih modern. Adu cepat, karena kecepatan mesin menentukan kapasitas. Kian modern, kecepatan mesin kian tinggi.

Mereka juga adu lebar: kian lebar ukuran mesin pembuat kertas, kian tinggi kapasitas.

Dulu, lebar mesin kertas itu hanya sekitar 1,5 meter. Sekarang sudah ada mesin pembuat kertas dengan lebar 11 meter. Kertas yang lebar itu lantas dipotong-potong di mesin potong sesuai dengan permintaan pasar.

Saya sering bertemu kakak beradik itu. Dulu. Terutama di kegiatan kemasyarakatan. Tentu saya tidak pernah melihat mereka di satu forum yang sama. Sebenarnya mereka sembilan bersaudara tapi hanya dua itu yang saya kenal.

Saya pernah bertemu khusus dengan Tirto. Untuk minta tolong: please, bikinlah kertas koran. Saya ingin kertas koran diproduksi di dalam negeri.

Tirto minta maaf. Surya Kertas memang memproduksi berbagai macam kertas, tapi tetap tidak mau membuat kertas koran.

“Repot pak,” ujarnya.

Repot yang dimaksud adalah urusan birokrasinya. Zaman itu kertas koran diatur pemerintah. Harganya pun dipatok. Kalau pabrik mau menaikkan harga, kenaikan itu harus disetujui asosiasi surat kabar (SPS). Asosiasi wartawan (PWI) ikut bersuara: menentang. Pemerintah pun takut memutuskan. Padahal harga bahan baku naik terus.

Harga kertas impor juga naik terus. Apalagi kalau impor kertas terhambat. Maka saya berharap ada pabrik kertas di dalam negeri yang memproduksi kertas koran. Setelah gagal ke Surya Kertas saya ke pabrik kertas lain: juga tidak mau. Bingung. Kepepet.

Maka saya terpaksa memutuskan Jawa Pos mendirikan pabrik kertas koran sendiri. Saya keliling Jerman, Austria, Italia, Swiss, dan Prancis. Lebih 20 pabrik kertas saya kunjungi. Yang baru maupun yang sudah berumur 100 tahun.

Ketika ke Prancis, saya tidak pernah ke Paris, Lyon, maupun Lille. Saya dari desa ke desa. Termasuk sampai ke sepelosok Grenoble. Atau Normande. Tidak ada pabrik kertas yang di kota.

Saya agak riya’ sedikit, juga keliling Tiongkok. Dan Taiwan. Sekolah. Sekolah. Sekolah. Sekolah kertas. Ini mata pelajaran baru sama sekali bagi saya: bagaimana membuat kertas.

Pikiran saya pun melambung tinggi. Jumlah koran terus bertambah. Pemakaian kertas naik terus. Kalau sudah punya pabrik kertas sendiri tidak akan pusing lagi.

Ternyata salah. Membuat pabrik kertas ternyata lebih sulit daripada membuat berita. Gambaran tidak pusing lagi ternyata keliru. Pusingnya tidak hilang. Hanya pindah: pabrik kertas itu sering berhenti.

Pusingnya tuh di sini: listrik PLN begitu sering mati. Byar-pet. Kena giliran. Atau mati sendiri. Kalau hujan mati. Angin kencang mati. Padahal pabrik sebesar itu tidak boleh berhenti-berhenti.

Maka, kelak, dua tahun kemudian, saya sekolah lagi. Keliling lagi. Mata pelajaran baru lagi: bikin pembangkit listrik. Tidak mau lagi tergantung hanya ke PLN.

Jinjen tidak mau menolong saya. Saya memaklumi alasannya. Masuk akal. Akhirnya penolakan itu telah memaksa saya maju: mendirikan pabrik kertas. Mbak Tutut yang meresmikannya. Bersama Jenderal Hartono. Saya undang Sulistyo bersaudara, saya lupa apakah mereka datang. Perhatian saya terfokus ke Mbak Tutut yang lagi terang sinarnyi.

Tahun 2013, ketika agak jauh dari Surabaya, saya mendengar: Surya Kertas dalam keadaan sulit. Ia tidak mau minta tolong adiknya. Atau adiknya tidak mau menolong kakaknya. Kesulitan itu begitu sulit. Surya Kertas dipailitkan orang. Pailit.

Tak lama kemudian saya mendengar berita duka: Tirto meninggal dunia. Ia memang sering sakit. Punya komorbid gula darah.

Setahun berikutnya saya dengar drama ini: dalam proses kepailitan itu terjadi kecurangan. Ditemukanlah fakta kuratornya dianggap bermain. Diadukanlah kurator itu ke polisi. Sang kurator ditahan.

Tahun 2015 keluar putusan Mahkamah Agung. Putusan pailit pengadilan negeri Surabaya itu dibatalkan. Surya Kertas sudah telanjur babak belur. Pemiliknya telanjur meninggal dunia.

Yang menarik, apa pun persoalan di antara mereka sang adik tidak tega Surya Kertas tutup alias meninggal dunia. Maka perusahaan itu diambil alih sang adik. Jadilah sang adik punya dua pabrik kertas besar.

Sang adik dikenal sebagai orang baik. Pekerja amat keras. Disiplin. Inilah salah satu pengakuan mantan manajer seniornya:

“Saya 17 tahun sebagai salah satu asisten terdekat Pak Winarko Sulistyo. Dalam keseharian di kantor beliau seorang pemimpin karismatis.. yang gigih..berani..low profile ..bicara terbuka dengan bawahan…pantang menyerah..berkemauan keras untuk kemajuan perusahaan”.

“Setiap ekspansi besar perhitungannya matang sehingga membuat beliau sukses….secara tidak langsung saya banyak belajar dari beliau. Kita bekerja tidak ada kata tidak bisa jika ada kemauan..keinginan..mencari tahu. Kalau kita berusaha dan mau belajar pasti bisa..jadi jangan pernah berkata tidak bisa.. .ini motto yang selalu saya ingat sampai hari ini”.

Dia tidak kaget mantan bosnya itu meninggal. Usianya sudah 76 tahun. Sudah sering berobat ke Singapura karena memang punya rumah di sana. Ia punya komorbid yang sama dengan kakaknya: gula darah.

Sang adik juga dikenal tidak mau menyusahkan orang. Maka ketika meninggal dunia jenazahnya minta dibakar saja. Itu pun cukup dilakukan di Singapura. Tidak usah repot mengurus jenazah pulang ke Indonesia. Kremasinya pun dilakukan hanya sehari setelah meninggal dunia.

Demikian juga poster digital berita dukanya. Sangat sederhana. Tidak menyebut di rumah sakit mana meninggal, tanggal 8 November itu jam berapa. Pun tidak menyertakan nama Vilia, istrinya.

Di Poster perkabungan itu juga tidak ada nama anak-anak, menantu, dan cucu. Tidak ada karangan bunga. Tidak ada rumah duka. Tidak ada yang melayat.

Yang lebih hebat dari sang kakak adalah: exit strategy bisnisnya. Ketika sudah tua dan sering sakit ia bikin putusan besar: pabrik kertas itu dijual. Pembelinya perusahaan Thailand. Grup Siam Cement. Salah satu produk Fajar Surya Wisesa adalah kertas kraft. Bisa dipakai untuk sak semen.

Harga jualnya sangat baik. Jauh melebihi untuk biaya ke surga: Rp 9,7 triliun.

Sang kakak biasa dipanggil Jin-jen.

Sang adik dipanggil Jin-guo.

Amitohu: dua-duanya sudah rukun kembali di surga Tuhan mereka. (*)

Komentar Pilihan Dahan Iskan*
Edisi 11 November 2022: Tengah Periode

Leong putu
Kulihat awan hitam kelam / Kubawa minyak ku siapkan petromax / Eehh Bung Bitrik mimpi apa semalam ? / Pagi ini kok dapat pertamax / … Selamat, selamat pagi. Salam

Muin TV
Nah, bagaimana cara mencetak dokter spesialis, yang kata Menkes Budi sangat minim. Mudah saja, APBN kita 20% untuk pendidikan. Kalau total Apbn kita adalah 3000 trilyun, ada kurang lebih 500 trilyun masuk ke kementrian pendidikan. Coba tempatkan 20 trilyun saja di bank-bank nasional atau Bank Jago lah (banknya Gojek) sebagai dana bergulir. Siapapun yang mau melanjutkan s1, s2, s3 atau ambil spesialis bisa mengaksesnya. Ya… mengajukan pinjaman untuk melanjutkan pendidikan. Setelah lulus dan bekerja bayar pinjamannya ke bank tersebut. Saya kira, dengan cara ini kita akan lebih cepat melahirkan doktor dan juga spesialis di bidang kesehatan. Tidak harus menunggu dapat beasiswa dari universitas luar negeri. Cara ini dilakukan Malaysia, untuk mendorong warganya kuliah di luar negeri. Cuma masalahnya, kalau sudah lulus dan gak bisa kerja, pusing juga mengembalikan duitnya. Hehehe…..

Muin TV
Karena susah login, ini untuk komentar tulisan kemarin. Menurut catatan Konsulat Malaysia di Pekanbaru, setidaknya setiap tahun ada 500.000 orang Riau yang berobat ke Malaysia Tujuan favoritnya adalah ke RS. Malaka. Kalau 1 orang pasien menghabiskan RM 1.000 saja, sudah 500 juta Ringgit devisa masuk dari orang Riau untuk negara Pak Cik Saman. Padahal, kalau orang sakit yang berobat, pasti tidak sendiri, minimal 2 orang. Bayangkanlah sendiri, berapa banyak duit keluar ke sana. Lalu, kenapa orang Riau lebih memilih berobat ke Malaka? Jawabannya adalah: pertama, pelayanan. Begitu kita mendarat di Bandara Malaka, sudah ada mobil jemputan dari RS. Malaka. Kita naik gratis. Siapapun naik mobil itu, gratis. Walaupun kadang tujuannya bukan ke RS. Malaka, tetap boleh naik dan gratis. Jarak dari Bamdara Malaka ke RS. Malaka, itu kurang lebih seperti jarak dari Bandara Sukarno Hatta ke RSCM. Yang kedua, pelayanan dokter. Diagnosa dokter di Malaka lebih presisi, ketimbang dokter di Pekanbaru. Suatu hari, tetangga saya masuk rumah sakit swasta besar di Pekanbaru. Sudah 2 hari dokter gak tahu apa penyakitnya. Begitu dibawa ke Malaka, ternyata demam berdarah. Aduuh… gini aja dokter kita gak tahu. Aneh. Akhirnya, dia telpon dari Malaka untuk melakukan fogging rumah. Dan dokter di Malaysia kalau berbicara apa adanya. Kalau memang penyakitnya bisa disembuhkan, ya… dia bilang bisa. Kalau memang gak bisa, ya.. gak bisa. Gak dibilang, “ya… kami sedang usahakan, sabar ya pak.”

Agus Suryono
BIDEN DAN PUTIN DI ACARA G30 BALI BIDEN: Lho, anda jadinya datang mas Putin. PUTIN: Ya, iyalah. Kan udah janji ama mas Joko, waktu blio datang, nganter undangan. BIDEN: Terus bagaimana ini. Semua melihat kita. Semua sorot mengarah ke kita.. Anda apakah masih akan terus menyerang Ukraina..? PUTIN: Nanti kita salaman dan berpelukan saja. Semoga salaman dan pelukan kita, bisa menurunkan harga-harga. BIDEN: Lha soal Ukraina, anda masih akan menyerang..? PUTIN: Ah, itu kan di luar kendali saya. Jenderal saya bergerak atas ulah “lobby J” yang kita sama-sama tidak bisa kendalikan. Tapi sebenarnya, Anda bisa “minta kompensasi”. BIDEN: Ya udah, nanti sepulang dari Bali, saya kontak “lobby J”. PUTIN: Sebaiknya di tilp dari sekarang saja. Mumpung masih di Bali. Sebelum para anggota “lobby J” liburan akhir tahun.. BIDEN: Waduh, HP saya ketinggalan di kamar. Pinjam HP lu aja ya. Biar gak narik perhatian. Ini SIMCard Indonesia kan..

Otong Sutisna
Politikus kebaya merah….

Chei Samen
Udah bertandang di pulau Penyengat/ Melaju speed-boat ke Stulang Laut/ Nikmati keberkahan hari jumat/ Tenang-damai jangan ngebut. #Damai selalu Bang Thamrin.

Thamrin Daffan
Cobalah bertandang ke Pulau Penyengat / Kisah Gurindam Dua Belas ada disana / Telah tiba hari penuh berkah Jum’at / Mari ciptakan kedamaian suasana / Salamsalaman

Leong putu
Hari jumat hari keberkahan / Patutlah kita saling berbagi / Sungguh terhormat punya kawan seperti tuan tuan / Pribadi santun dan rendah hari / … Salam

Lukman bin Saleh
Tidak terbayang jika sistem politik seperti ini berlaku di negara kita. Di sana anggota dewannya rasional. Bisa berfikir dewasa. Meski tidak selamanya, tapi tidaklah terlalu kekanak2an. Kalau di sini anggota dewan punya powerfull seperti di sana. Kacau sudah jadinya. Pemerintah tidak bisa berbuat apa2. Mau baik mau tidak kebijakan pemerintah. Asal bukan golongan kita, hajar. Tapi kalau golongan kita, dukung doong. Di sini sepertinya akan lebih baik fungsi kontrol dewan itu diganti netizen…

Otong Sutisna
Cita – cita hayang jadi dokter/kajeun ngodok nu kotor – kotor/soalnya te Aya Dokter NU hirupna sangsara/teu jiga dukun NU di lembur…

Rihlatul Ulfa
Tahapan menjadi dokter. 4 tahun dengan gelar S.Ked. 2 tahun untuk ujian profesi agar dapat gelar “dr” ujian profesi ini juga biasa disebut co-ass (co assisten). 1 tahun mengikuti program internship. (ppds) program pendidikan dokter spesialis selama 4 tahun. dokter umum yg melanjutkan pendidikan sebagai dokter spesialis akan disebut ‘residen’. itu belum termasuk proses magang, belajar, nyari rekom, nyari uang untuk biaya spesialis. jadi total 15-16 tahun. saat pendidikan mereka tidak diperbolehkan bekerja, berapa banyak pengeluaran dan tidak ada sama sekali pemasukan selama itu. contoh besaran biaya untuk spesialis penyakit dalam, untuk besaran biaya spesialis di UI (reguler) yaitu 16.000.000 dan untuk biaya spesialis UGM 17.000.000. dengan spp di UI 7.500.000. mahasiswa kedokteran ‘tidak boleh sakit’ atau bahkan ‘tidak diizinkan sakit’

Johannes Kitono
Presiden Joe Biden yang sudah berkuasa 2 tahun “sudah dihukum” oleh penyokong dari Partai Republik. Padahal siapapun Presiden USA saat ini, baik Demokrat maupun Republik pasti akan menghadapi masalah kenaikan harga pangan dan energy. Akibat Rusia berperang dengan Ukraina. Tapi syukur Joe Biden masih bisa dan mau hadiri G 20 di Bali. The show must go on. Presiden Jokowi yang sudah menjabat 2 kali dan reputasi baiknya diakui dunia. Masih ada juga ribuan pendemo Partai Nasi Bungkus mau menurunkannya. Alam semesta marah, demonya sempat diterpa hujan dekat Patung Kuda. Nah yang hebat Presiden Xi Jinping. Mau menjabat ketiga kali atau mungkin keempat kali. Asal masih sehat dan berprestasi pasti bisa diterima secara aklamasi. Mungkin hanya ada sedikit coretan protes di Toilet umum saja. Semoga hadirnya Presiden Joe Biden kali ini di G 20 Bali, bisa mendapat ” ilmu ” dari Presiden Jokowi dan Presiden Xi Jinping. Bagaimana caranya menjadi seorang Presiden yang pantas dicintai dan disegani rakyatnya.

Alon Masz Eh
Saya cuman pernah ke warung aslinya bebek goreng. Ini riya’ ga yah? Kalo riya’ tolong tulisan saya dihapus mimin… Biar kosong. Yang penting catatannya si mbah ga kosong. Repot kalo si mbah merajuk

Chei Samen
Lawan riya’. Saya itu punya 5 kereta. Kereta dorong! Cuma 1 yang masih elok!

Otong Sutisna
Tadi antrian pertalite lumayan panjang, lihat di Pertamax sedikit, tapi takut di bilang riya….saya milih tetap antri pertalite

yea aina
Saya pernah sakit batuk berdahak. Bisa sembuh, setelah rutin minum jamu kunir asem. Ups…. kalau koment ini dilanjutkan kira-kira terkena pasal riya’ gak ya? Padahal dahaknya eh…. batuknya sudah sembuh.

Leong putu
Saya punya itri yang cantik dan manis… Kira² riya’ juga gak ya ? Kalau riya’ tolong hapus juga komen saya ini min….

yea aina
Sekilas riwayat politisi JD Vance. Pernah aktif di militer, berganti profesi jadi venture capitalist (mesti banyak tabungannya kwkwkw) sekaligus menekuni dunia menulis. Lewat buku best sellernya, JD Vance sukses terpilih anggota senat AS. Modanya: membuat bangga pendukung sebudaya dengannya. JD Vance sedang memainkan politik identitas. Identitas budaya Appalachia. Untunglah JD Vance di AS Sono, kalau di negeri lain keburu dicaci-maki sebelum terpilih he he he.

Sama Konomaharu
Ketika pengumpulan dana pertama setahu saya perusahaan James David hanya memiliki $93M per 9 Januari 2020. Lha kok tiba-tiba per 11 Maret 2021, dan 14 Juli 2021. Sudah setoran lagi $112M.

*) Dari komentar pembaca http://disway.id


Editor : Irawan
Publisher : Ameg.id
Sumber : Ameg.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button