HukumNasional

Mati Pascavaksin

Semua manusia pasti mati. Tapi, kematian pascavaksinasi korona, Trio Fauqi Firdaus (21) di Jakarta, gawat. Bisa krisis kepercayaan. Lalu warga takut divaksin. Sangat bahaya.

***

Kronologi kasus ini ada dua versi. Diceritakan dua orang berbeda yaitu Viki (24) kakak Trio dan Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Prof Hindra Irawan Satari.

Baca Juga

Kronologi ini penting buat masyarakat. Terutama, bagi yang belum divaksin.

Versi satu. Viki cerita kepada wartawan, Senin (10/5/21). Bahwa Trio pulang kerja (di Pegadaian Cibubur, Jakarta Timur) sekitar pukul 16.00, Rabu (5/5/21). Siangnya, bersama rombongan kantor, Trio divaksin di Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta Selatan.

“Sampai rumah, dia mengeluh ke ibu kami, katanya badannya terasa nggak enak,” tutur Viki.

Diceritakan Trio kepada keluarga, ia bersama rombongan kantor divaksin petugas yang bekerjasama dengan RSUP Pertamina.

Sambil berjalan tertatih, Trio mengeluhkan pusing. Ibunya mengecek jidat Trio, panas. Ibunda panik.

Ibu menawarkan obat sakit kepala. Tapi Trio menolak. Khawatir campur dengan vaksin yang sudah masuk ke tubuhnya. “Khawatir terjadi apa-apa,” ujar Viki.

Ibunda bertanya, mana yang sakit? Ternyata banyak. Kepala pusing. Badan panas. Terasa ngilu di sekujur badan.

Tidak pakai menunggu, Trio dibawa ibunda bersama Viki ke klinik dekat rumah. “Sampai di sana, klinik baru saja tutup. Kami balik pulang lagi,” tuturnya.

Esoknya, Kamis (6/5) gejala yang dirasakan Trio semakin berat. Panas, pusing, ngilu, ditambah kejang-kejang.

“Napasnya sudah berat. Seperti sesak. Terengap-engap, termegap-megap, matanya itu seperti orang kejang,” ujarnya.

Keluarga membawa Trio ke RS swasta di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, dekat rumahnya.

Tiba di RS, keluarga pengantar ditanya dokter. Keluarga menceritakan kronologi. Kemudian dokter tidak langsung menangani, karena mendengar akibat vaksinasi. Dokter melapor ke atasan.

Akhirnya, pihak RS menolak. Dengan alasan, harus dibawa ke RS besar yang peralatannya lengkap.

Penolakan pihak RS akibat kata kunci “habis divaksin”. Tapi, kronologi memang harus diceritakan secara jujur oleh keluarga. Tidak mungkin bohong.

“Akhirnya, adik saya kami bawa ke RS Bersalin Asta Nugraha. Langsung masuk UGD,” cerita Viki.

Di UGD, dokter bertanya kepada pihak keluarga pasien, kronologinya. Karena kondisi pasien sudah parah. Sudah koma.

Keluarga menjelaskan “habis divaksin”, kemarin siang. Mendengar itu, para dokter jaga UGD tidak segera bertindak. Mungkin khawatir salah. Karena vaksinasi korona adalah hal baru bagi masyarakat, termasuk dunia kedokteran.

“Lalu pihak RS Bersalin Asta Nugraha menganjurkan, agar adik saya dibawa ke RS yang lebih besar,” kata Viki.

Panik, marah, bingung. Itulah perasaan keluarga.

Di saat pihak keluarga hendak mengusung Trio untuk pindah RS, ada dokter setempat memeriksa kondisi Trio lagi. “Dokter itu mengatakan, Rio (panggilan Trio) sudah meninggal ,” ungkapnya.

Pernyataan dokter tersebut pada sekitar tengah hari. Atau sekitar pukul 12.00. Yang berarti, belum 24 jam dari saat vaksinasi.

Shock, sedih, marah, campur aduk. Tapi, kemudian keluarga mengikhlaskan kepergian Trio.

Tanpa diperiksa lagi, jenazah Trio dibawa pulang. Para kerabat kantor tempat kerja Trio mendatangi rumah duka. Mereka semua juga sama-sama divaksin bersama Trio.

Jenazah dimakamkan sore itu juga, usai buka puasa di Duren Sawit. Tak jauh dari rumahnya.

“Sampai sekarang, saya belum dapat kelanjutan dari masalah ini seperti apa kejelasannya. Bahkan, dokter yang menyuntik (vaksin) pun saya nggak tahu,” kata Viki.

Menurutnya, ketika adiknya demam, pihak keluarga tidak bisa menghubungi nomor telepon yang disarankan. Karena tidak menemukan dokumen vaksinasi. Sedangkan, kondisi Trio terus memburuk. Keluarga panik.

“Kami hanya menemukan SMS sertifikat vaksinasi COVID-19,” ujarnya.

Juru bicara vaksinasi dari Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan kasus Trio Fauqi Firdaus sedang dikaji Komnas KIPI. “Tunggu kajian Komnas KIPI,” kata Nadia kepada wartawan, Senin (10/5/2021).

Ketua Komnas KIPI, Prof Hindra Hingky Setiawan kepada wartawan menjelaskan kronologinya.

Trio divaksin produk AstraZeneca di GBK pada Rabu (5/5) pukul 13.30. Sesudah vaksinasi, Trio kembali bekerja di Pegadaian Cibubur.

Prosedur observasi 30 menit, sudah dijalani. Artinya, pasien vaksinasi menunggu di tempat selama sekitar 30 menit. Saat itu, Trio tidak mengeluh apa-apa.

Berdasar investigasi KIPI, gejala pada Trio mulai muncul saat dia bekerja di kantor. Prof Hindra menyayangkan yang bersangkutan tak langsung melapor ke nomor telepon yang tertera di kartu vaksinasi.

“Dia tidak melapor ke tempat vaksin, kan ada nomor telepon kan di belakang kartu itu. Tapi dia mau berobat ke dokter biasa dia berobat. Jadi pertanyaan saya, apakah dia punya sejarah penyakit di dokter langganan, kebetulan dokter langganannya nggak praktik, jadi nggak berobat,” jelas Hindra.

“Tengah malam, dia demam tinggi, nggak berobat juga. Paginya dia merasa pegal, dipijat. Setelah dipijat, dia pingsan, lalu dibawa ke RS di Rawamangun, namun ternyata sampai di RS death on arrival,” katanya.

Ada sedikit beda dengan versi Viki. Yakni, terjadi imbal (pindah) dua RS. Yang, tentu saja membuang waktu sangat berharga bagi nyawa Trio.

Paling merugikan Trio, dua RS tersebut sama-sama tidak berani menangani pasien. Akibatnya, Trio kehilangan banyak waktu, tanpa tindakan medis. Sampai dinyatakan meninggal.

Tidak jelas, bagaimana penyelidikan kasus ini. Trio sudah dimakamkan. Tanpa otopsi. Sedangkan, satu-satunya cara akurat investigasi penyebab kematian adalah otopsi.

Belum ada kejelasan apakah makam Trio bakal dibongkar untuk otopsi? Atau, apakah pihak keluarga mengizinkan otopsi?

Jadi, belum bisa dikatakan Trio meninggal akibat divaksin. Belum bisa disimpulkan begitu. Yang benar, Trio meninggal pasca divaksin. Tidak sampai 24 jam.

Kronologi tersebut, pastinya pelajaran penting bagi masyarakat. Antara lain, kontak dengan dokter penyuntik vaksin, jika terjadi apa-apa, sangat penting.

Problemnya, para dokter penyuntik selama ini kebanjiran telepon dan WA dari pasien. Karena, pasien yang merasa pusing atau demam, sedikit saja, pasti menelepon. Dan panik.

Karena kebanjiran telepon bernada panik, ganti dokternya yang pusing. Sehingga telepon dokter dimatikan. Lalu, siapa yang mengawasi, agar dokter selalu siaga? (*)


Editor :
Publisher :
Sumber :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button