Nasional

Penonton Kecewa di KDRT Kejora

Lesti Kejora-Rizky Billar akhirnya damai. Gugatan KDRT dicabut Lesti. Perkara ditutup, Rizky yang sudah dua hari ditahan, dibebaskan. Komentar warganet beragam. Ada yang bilang, ini prank.

***

SEUMPAMA benar prank, hanya menambah kesibukan polisi yang kini sudah sibuk. Oleh penyidikan terhadap Irjen Teddy Minahasa yang dibatalkan Kapolri setelah ditunjuk jadi Kapolda Jatim.

Baca Juga

Tapi, menyimak gelagat Lesti Kejora, seandainya itu prank, dia sangat menjiwai peran. Ada visum. Bukti rekaman CCTV. Bahkan dirawat di RS dengan leher digips. Diberitakan media massa, lehernya bergeser.

Perkara KDRT memang ada. Terbukti, penyidik sudah menetapkan Rizky tersangka dan ditahan. Perdamaian Lesti-Rizky sudah diterima penyidik.

Kasi Humas Polres Metro Jakarta Selatan, AKP Nurma Dewi kepada pers, Jumat, 14 Oktober 2022, mengatakan:

“Hari ini penyidik sudah menerima surat perdamaian dari kedua belah pihak, dan pencabutan laporan sudah ditandatangani L. Sudah diterima penyidik. Selanjutnya kita lakukan restorative justice.”

Restorative justice sudah diterapkan Polri sejak tahun lalu. Diatur dalam Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021. Sudah diterapkan beberapa kali.

Restorative justice artinya, pemulihan keadaan (restorasi) oleh pelaku tindak pidana. Dalam penegakan keadilan (justice). Korban menerima ikhlas kerugian yang disebabkan tindak pidana pelaku. Dan, pelaku merestorasi, meminta maaf pada korban.

Rizky-Lesti suami-isteri, maka pelaksanaan perdamaian, gampang. Digelar di Mapolres Jakarta Selatan, Jumat, 14 Oktober 2022.

Sesuai aturannya, di gelaran restirative justice dihadiri pelaku dan korban serta keluarga mereka. Juga semua unsur Polri. Ditambah wakil dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak.

Perkara hukumnya selesai.

Warganet menyoal: Mengapa Lesti mau damai? Jawaban pastinya pada Lesti. Bisa dijawab apa pun. Baik jujur maupun sekadar pencitraan.

Pertanyaan begini muncul, sebab pelaku-korban publik figur. Mata warga Indonesia tertuju ke situ, hari-hari ini. Ada yang kecewa atas sikap Lesti mencabut perkara. Ada yang mendukung.

Publik seolah menonton film di kasus itu. Penonton film biasanya melibatkan perasaan. Mendukung peran protagonis, memaki antagonis. Kadang berdebar, juga.

Penonton maunya antagonis dihukum. Karena jahat. Dalam kasus Lesti, kejadian KDRT dan Lesti lapor polisi, terjadi pada Rabu, 28 September 2022.

Enam belas hari kemudian, Jumat, 14 Oktober 2022, protagonis memaafkan antagonis. Persis, setelah antagonis sudah dua hari ditahan polisi. Lalu, protagonis-antagonis berpelukan. Penonton kecewa.

Jika memang begitu kondisinya, maka yang jahat justru penonton. Tidak ikut merasakan, apa yang dirasakan Lesti. Penonton tidak berempati, betapa galau Lesti, selama proses hukum ini berlangsung.

Seumpama perkara dilanjut, misalnya, Rizky dihukum lima tahun penjara, maka Lesti menjanda. Punya anak satu: Muhammad Leslar Al-Fatih Billar, kini usia delapan bulan. Sedangkan, penonton tidak ikut merasakan, apa yang dirasakan Lesti.

Koran USA Today, terbitan 13 Mei 2012, berjudul: “States cracking down on strangulation attempts”, menyebutkan, pencekikan di perkara Domectic Violence (DV) atau KDRT, dinyatakan sebagai tindakan paling mematikan.

Tapi, pencekikan di KDRT selalu kurang cedera eksternal. Atau sulit dibuktikan melalui visum. Karena, daging di leher manusia fleksibel. Setelah dicekik keras (asal tidak sampai mati) beberapa menit kemudian daging leher kembali seperti semula. Kenyal oleh jutaan urat di situ. Hanya ada sedikit tanda merah, yang juga akan hilang dalam beberapa menit kemudian.

USA Today: ” Ada kurangnya pelatihan medis sehubungan dengan itu. Pencekikan sering jadi masalah tersembunyi.”

Dilanjut: “Akibatnya, dalam beberapa tahun terakhir, banyak negara bagian AS telah memberlakukan undang-undang khusus melawan pencekikan di perkara DV.”

Kabidhumas Polda Metro Jaya. Kombes Endra Zulpan, kepada pers menyatakan: “Korban (Lesti) dicekik lalu dibanting berkali-kali.”

Alana Prochuck dalam karyanya: “We are here: women’s experiences of the barriers to reporting sexual assault” (2018) menyatakan: Wanita korban DV mayoritas tidak menuntut pelaku. Bahkan, kebanyakan tidak lapor polisi.

Prochuck adalah Manajer Pendidikan Hukum Publik di West Coast LEAF. Ini LSM memperjuangkan kesetaraan gender pria-wanita, didirikan di Kanada 1985.

Karyanya itu berbasis riset di Kanada. Hasil riset, sekitar 5 persen wanita korban Domestic Violence yang melapor ke polisi. Sisanya, diam. Mayoritas dari 5 persen itu adalah isteri korban DV suami (di sana ada pasangan hidup bersama, tanpa nikah, jadi tidak bisa disebut isteri).

Alasan wanita tidak lapor polisi, dirinci dalam prosentase. Mayoritas (71 persen responden) menimbang bahwa DV sebagai kejahatan kecil dan tidak layak dilaporkan ke polisi.

Urutan berikutnya, responden menjawab: DV merupakan masalah pribadi dan mereka anggap bisa mereka atasi secara informal.

Urutan berikutnya, responden tidak mau repot berurusan dengan polisi. Menyita waktu dan tenaga dalam tempo lama, kemudian dilanjut ke pengadilan, memakan waktu dan tenaga pula.

Urutan berikutnya, responden percaya bahwa pelaku sesungguhnya tidak bermaksud menyakiti. Kejadian itu (DV) hanya akibat emosional sesaat. Responden yakin, pelaku tidak akan mengulangi, setelah meminta maaf.

Urutan paling akhir, responden merasa, bahwa pelaporan (ke polisi) akan membawa aib bagi keluarga.

Uraian hasil riset Alana Prochuck, diyakini publik Amerika Serikat, sebagai ‘mendekati kebenaran’. Publik yang dimaksud adalah wanita dewasa. Baik yang pernah jadi korban DV, maupun belum.

Apakah hasil riset Prochuck itu mewakili pemikiran Lesti Kejora? Tidak ada yang tahu. Kecuali Lesti sendiri. (*)


Editor : Irawan
Publisher : Ameg.id
Sumber : Ameg.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button