Nasional

Problem Hukum Debt Collector Sita Mobil Clara Shinta

Viral, mobil selebgram Clara Shinta disita tim debt collector. Dicegah polisi, polisinya malah dibentak. Akhirnya si penagih pergi begitu saja, takut berlanjut. Ternyata latar belakang kasus itu menyangkut pernikahan Clara.

***

DIKONFIRMASI wartawan, Senin (20/2) Clara menceritakan soal video viral itu, begini:

Baca Juga

“Kejadiannya 8 Februari 2023 di Apartemen Casa Grande (Tebet, Jakarta Selatan). Ternyata mobil itu digadaikan mantan suamiku. Sekarang aku jadi saksi penggelapan dan pembentakan polisi.”

Video yang viral itu diunggah di akun Tiktok @clarashintareal dan jadi heboh, Senin (20/2). Tampak Clara dan para debt collector beradu argumen di salah satu ruangan. Ada seorang anggota polisi (kemudian diketahui bernama Iptu Evin Susanto.dari Polda Metro Jaya) menyaksikan peristiwa itu.

Karena debat berkepanjangan, polisi mengajak para penagih bicara ke Polsek terdekat. Sebaliknya, penagih membentak-bentak polisi, meninggalkan lokasi.

Buntut peristiwa itu Clara dimintai keterangan di Polda Metro Jaya sebagai saksi. Sekaligus, Clara melaporkan penggelapan oleh mantan suami (tidak disebut namanya).

Clara kelahiran Medan, 1996. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dia awalnya tukang bikin konten di TikTok. Kemudian jadi selebgram dengan jumlah pengikut 3,8 juta.

Dari hasil konten kreator itu dia mendirikan dua perusahaan: PT. Generasi Biru Nusantara dan PT. Askara Syandana Mulia. Yang satu bidang ekspor ikan. Satunya lagi bidang produksi obat kecantikan, pelangsing tubuh.

Dari situ dia beli beberapa mobil mewah. Antara lain, Porche dan Toyota Alphard. Dia sudah menikah, lalu cerai. Menghasilkan seorang anak laki ikut dia. Tapi, Clara ogah menjelaskan detil tentang itu. Alasannya, itu masalah privasi.

Tapi dia menceritakan mantan suami yang curang. Menggelapkan, tepatnya menggadaikan BPKB mobil milik Clara, yang sampai hendak disita penagih akhirnya viral itu.

Clara ke pers: “Jadi saya kan membeli mobil cash pada tahun 2021 gitu. Nah, pada waktu itu saya masih memiliki suami. Nah saya itu setiap hasil kerja saya atau apa pun itu, pasti saya titipkan ke ia (suami). Seperti, saya baru beli mobil ini, BPKB dan apa pun, saya titip ke dia untuk disimpankan.”

Dilanjut: “Tapi ternyata BPKB mobil itu digadaikan sama mantan, sewaktu saya masih jadi istrinya. Dan yang digadaikan itu sebenarnya bukan mobil ini saja, ada dua mobil. Alphard sama Porche.”

BPKB mobil Alphard sudah digadaikan suami Clara, pada saat mobil baru saja dibeli. Begitu juga BPKB mobil Porche.

Ditanya, berapa kerugikan Clara akibat BPKB mobil digadai?

Clara: “Kalau kerugian pasti banyaklah. Pinjaman gadai Rp 200 juta, itu untuk satu mobil, ya… yang Porsche. Untuk Alphard juga Rp 200 juta. Kalau yang Porsche orangnya (pemberi utang gadai) belum nuntut karena itu perorangan. Kalau yang Alphard yang mau disita itu pinjaman dari perusahaan leasing.”

Maka, Clara lapor Polda Metro Jaya untuk tuduhan penggelapan terhadap mantan suami. Sekaligus diperiksa sebagai saksi pembentakan polisi oleh penagih.

Bagaimana status hukum debt collector? Bolehkah menyita barang milik debitur yang menunggak pengembalian utang?

Dikutip dari Alexander Lay, advokat dari Pusat Bantuan Hukum Peradi, dalam artikelnya bertajuk: “Debt Collector Menyita Barang Milik Debitur”, disebutkan: Debt collector tidak berhak menyita barang. Jika itu dilakukan, berarti melanggar hukum pidana.

Disebutkan, prinsipnya, penyitaan barang-barang milik debitur yang wanprestasi hanya bisa dilakukan atas dasar putusan pengadilan negeri di lokasi sengketa. Tanpa surat putusan pengadilan, penyitaan berarti tindak pidana perampasan dengan paksa barang milik orang lain.

Debt collector dijerat Pasal 362 KUHP, bunyinya demikian:

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian, kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Ini aturan hukum (KUHP) zaman Belanda yang saat diundangkan dulu, uang Rp 900 cukup bernilai. Sekarang, parkir motor saja Rp 2 ribu.

Itu pasal perampas. Sedangkan, kalau perampasan barang disertai dengan kekerasan, melanggar Pasal 365 KUHP. Di Ayat 1 bunyinya begini:

“Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, terhadap pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan, atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.”

Dalam buku karya Munir Fuady bertajuk: “Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer”, tentang perampasan barang milik orang lain itu dirinci ada enam item, demikian:

1) Adanya tindakan oleh pelaku. 2) Adanya maksud (keinginan) pelaku. 3) Menguasai/memiliki barang pihak lain. 4) Pihak korban adalah pihak yang berwenang menguasai barang tersebut. 5) Adanya hubungan sebab akibat. 6)
Tidak dengan persetujuan dari korban.

Maksudnya menjelaskan rincian Pasal 362 dan Pasal 365 KUHP. Merinci tindakan pemaksaan merampas barang milik orang lain (bukan milik penagih), baik dengan perampasan biasa maupun dengan ancaman kekerasan.

Semua itu dengan perkecualian, kecuali penagih membawa surat pernyataan pengadilan negeri di wilayah hukum sengketa. Kalau penagih membawa surat pengadilan, boleh menyita. Tapi eksekutor penyitaan adalah jaksa didampingi polisi.

Jadi, penagih atau debt collector yang ada selama ini cuma jalan pintas di luar aturan hukum. Jalan pintas maksudnya supaya pihak kreditur cepat dapat ganti barang atas utang yang tertunggak.

Dalam kasus Clara Shinta tampaknya tidak ada masalah. Karena dia secara ekonomis mampu membayar utang gadai, meski bukan dia yang berutang. Nah, bagaimana dengan pengutang yang tidak mampu membayar?

Dalam buku di atas disebutkan, pengutang yang tidak mampu membayar, dilakukan re-schedule, atau dalam Bahasa Surabaya: Semoyo. Berjanji akan melunasi utang di kemudian hari.

Kalau sampai batas waktu yang ditentukan pengutang belum mampu melunasi juga, maka semoyo lagi. Sampai kapan? Tidak disebutkan batas waktu secara hukum. Dan, utang-piutang masuk wilayah hukum perdata, bukan pidana. (*)


Editor :
Publisher :
Sumber :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button