Disway

Siapa Membunuh Putri (30)

Kerusuhan Besar

SIDANG dengan terdakwa AKBP Pintor berjalan tidak lancar, kacau di ruang sidang, dan rusuh besar di luar. Para pendukung terdakwa memenuhi bangku-bangku di ruang sidang. Seperti sidang-sidang sebelumnya, ada pendeta di ruang sidang itu, yang tampak terus-menerus berdoa, ibunda Putri bernyanyi-nyanyi lagu rohani.

Bahkan sempat ada acara tiup lilin ulang tahun Zakia anak pasangan Putri dan Pintor. Ketika AKBP Pintor dibawa masuk dan duduk di kursi terdakwa, ibunda Putri berseru menyerukan kalimat pembelaan: kuatkan dirimu, Anakku, kamu tak bersalah. Tuhan melindungimu! Tuhan akan tampakkan siapa yang sebenarnya bersalah! Tuhan bersamamu, bersama kita!

Baca Juga

Sepanjang pembacaan dakwaan, berkali-kali hakim meminta agar pengunjung sidang tertib. Awang dan Runi dihadirkan sebagai saksi. Pengacara Restu mendampingi mereka.

Sapril dan Ferdy dihalang-halangi orang ketika hendak memotret. Bahkan ada yang memaki-maki, ”tak usah kau meliput, wartawan provokator, koran sampah!” Sapril dan Ferdy tampaknya sudah terbiasa.

Saya duduk di deretan belakang kursi pengunjung. Edo berkeras menemaniku. Bang Eel melarangku untuk datang ke PN Borgam. ”Koran berdarah yang dilempar ke percetakan itu peringatan buat kita, Dur. Peringatan keras,” katanya. Saya mengabaikan. Sidang ini harus saya saksikan. Bukannya saya tak percaya dengan kemampuan Sapril dan Ferdy. Saya hanya ingin memberi dukungan moral pada dua wartawan saya itu.

Ketika dakwaan dibacakan semua orang yang ada di ruang sidang seperti mendengar cerita. Bagaimana sebuah rencana pembunuhan diatur dan dieksekusi, jejak-jejak dihapuskan. Terbayang di kepala saya semua fakta-fakta yang telah kami beritakan. Tak ada yang berbeda. Hanya beberapa fakta baru seperti melengkapi bagian-bagian yang selama ini belum terungkap.

Jaksa terus membacakan dakwaan. Orang yang mengikuti kasus ini bisa menyimpulkan bagaimana rekayasa sebelumnya diatur. Dakwaan yang dibacakan, persis seperti berkas yang saya terima dari Pak Rinto dan Pak Restu Suryono, membongkar semua cerita rekayasa itu. Sulit memang dipercaya. Sesadis itukah seorang suami pada istrinya?

Apalagi aksi keluarga Putri membuat semua orang bertanya, apa benar Pintor sekejam itu? Kenapa keluarga Putri membela Pintor habis-habisan? Kenapa tak marah pada Pintor kalau memang dia pelakunya? Tapi sulit juga untuk tak percaya pada fakta-fakta penyelidikan yang dipaparkan dalam dakwaan.

Saya teringat ucapan Pak Rinto bahwa tugas pengacara bukan membuat hakim yakin bahwa kliennya tak bersalah. Tapi membuat hakim ragu bahwa kliennya bersalah. Vonis tak boleh diputuskan dengan keraguan, harus harus memutuskan vonis dengan bukti yang sah dan meyakinkan. Seluruh drama di ruang sidang itu saya kira hanya untuk itu: membuat hakim ragu-ragu. Atau ini juga bagian dari skenario rekayasa itu, karena hakim sudah dipesan untuk membuat vonis sesuai maunya terdakwa?

Pertanyaan besarnya adalah kenapa Pintor membunuh Putri? Selain motif kemarahan, keterusikan harga diri seorang lelaki, seorang suami yang selama manut dan dicocok hidung oleh istri, sampai batas yang tak lagi bisa ditoleransi? Atau atau lapisan lain yang lebih tebal yang tak akan terkelupas oleh proses hukum di persidangan ini?

Saya dengan lekas menghubungkan fakta-fakta yang ada, informasi yang terkumpul. Meski sebatas ini saya hanya bisa menduga-duga. Sebagian informasinya disampaikan oleh Pak Rinto dalam pertemuan kami terakhir di rumahnya, juga dari pengacara Restu.

”Kapolresta yang sekarang itu orang yang ambisius. Kasus mobil bodong untuk mabes yang kalian bongkar itu upeti dia untuk dapat promosi. Putri yang bantu dia. Ada hubungan khusus antara keduanya. Pintor sudah lama mengendusnya, tapi tak bisa dan tak mau dia melawan atasannya. Karena itu juga terkait karirnya. Sampai dia tak tahan lagi, dua kemarahan itu menggunung, jebol, lalu ia lampiaskan pada Putri,” kata Pak Rinto.

”Sudah terjadi mutasi besar-besaran di Polresta, kenapa Kapolresta tak diganti?”

”Itu bagian dari negosiasinya. Ada yang mau dia bereskan dulu sebelum diganti. Tak lama lagilah,” kata Pak Rinto.

”Kaitan dengan kasino ilegal di Penangsa itu, Pak?”

”Bagian dari pengumpulan dana untuk promosi itu juga. Kayaknya dia mengincar jabatan penting. Perlu dana besar sekali,” kata Pak Rinto.

”Kenapa harus Putri ya, Pak?”

”Selain ada hubungan itu, Putri memang punya kemampuan untuk itu dan dia mau melakukan itu. Dia punya dealer besar di Palembang. Artinya sudah tahu betul bisnis mobil. Juga bisnis mengelola tempat hiburan yang dibaliknya kasino ilegal itu. Kamu harus ingat juga, ayahnya orang penting di mabes. Masih punya pengaruh besar,” katanya.

Mengingat-ingat percakapan itu, melihat hubungan kejadian-kejadian itu, lalu mengaitkannya juga dengan eskalasi politik menjelang pilwako, saya tiba-tiba disergap perasaan tak nyaman. Ada yang tidak beres. Peringatan Pak Rinto agar kami menurunkan tensi pemberitaan mungkin terkait dengan ini: akan ada kerusuhan besar. Untuk menutupi hal-hal besar yang ingin dihapuskan jejaknya.

Saya lekas keluar ruang sidang PN menemui Sapril. Ia cemas. ”Gawat, kacau ini, Bang,” katanya. ”Itu pendukung Awang dan Runi. Dari tadi tambah banyak.” Ia menunjuk ke arah kelompok massa di satu sudut, ke arah orang-orang yang memakai kaus seragam. Mereka mengikat kepala dengan kain kuning. Sapril menunjuk kelompok lain. Sama banyaknya. Dengan kaus seragam lain dan kain selendang merah sebagai identitas penanda.

”Abang balik kantor aja, Bang. Tak aman di sini,” kata Sapril.

”Kalian lekas kembali ke kantor kalau sudah tak ada lagi yang perlu diikuti di sini. Kamu terutama, Pril. Foto selamatkan dulu, pastikan kita sudah dapat foto yang bagus,” kataku.

”Bawa aja laptop saya, Bang. Tadi foto-foto Sebagian sudah saya pindahkan ke laptop. Buat jaga-jaga, yang di kamera belum saya hapus juga,” kata Sapril sambil keluarkan laptop dari ranselnya. Saya mengajak Edo meninggalkan PN.

”Ke kantor, Bang?”

”Iya,” kataku, tapi tiba-tiba aku mencemaskan Inayah. Cemas dan rindu. Beberapa waktu lalu dia bercerita ingin membuka semacam layanan rumah aman bagi pekerja perempuan yang bermasalah. Dia punya kegiatan di luar pesantren, yaitu pengajian rutin untuk beberapa kelompok pekerja wanita di dormitory. Ia bergantian dengan beberapa ustad dan ustadzah di Alhidayah.

”Kita ke pesantren dulu, Do,” kataku.

Saya menelepon Inayah. Jawabannya menambah kecemasan saya. Ia tak mengangkat telepon dan membalas dengan SMS, saya sedang menuju ke Bluebeach. Nanti saya ceritakan. Tak bisa bicara sekarang. Lagi sama beberapa polwan.

Saya menelepon Ustad Samsu. Saya langsung bertanya soal Inayah.

”Ada tiga orang perempuan datang minta perlindungan ke pesantren. Mereka sepertinya bingung tak tahu mau sembunyi di mana. Ada temannya di dormitory yang kenal sama Inayah. Mereka mengaku lari dari hotel Bluebeach di Penangsa. Kondisinya mengenaskan. Mereka mengaku disiksa. Mereka tak tahan dan berusaha kabur,” kata Ustad Samsu.

”Inayah ke sana mau apa, Ustaz?” tanyaku.

”Kata tiga orang itu ada puluhan temannya yang juga berusaha kabur. Tapi berhasil ditangkap lagi. Tiga orang itu masih di sini,” kata Ustad Samsu.

Saya semakin cemas. Saya minta Edo putar arah lagi ke Penangsa. Saya teringat Widi Woman Workers Cares. Saya menelepon dia. Widi sudah tahu dan sedang menuju ke Bluebeach juga. Edo menyarankan saya menelepon temannya di sana. Ia berikan nomor telepon anggota Terpedo. Beberapa kali panggilan tak diangkat, meski pun tersambung.

”Ada nomor lain, Do?” tanyaku. Edo mengingat-ingat. Sementara itu saya teringat Nenia. Kenapa tak terpikir dari tadi. Saya langsung menelepon dia. Teleponnya tak aktif. Edo memberikan nomor lain. ”Itu anggota Terpedo juga,” katanya.

Telepon diangkat. Saya minta Edo bicara. ”Ronald, ini aku Edo. Ya, Edo. Ada apa di sana?”

Saya mendengar orang berteriak-teriak. Ada yang menjerit histeris. ”Edo, ada kerusuhan! Kerusuhan, Edo. Ada tembak-tembakan!”

”Ada polisikah?”

”Ya, ini yang tembak-tembakan polisi sama tentara! Ada teman-teman yang kena tembak!”

”Kau tunggu. Saya sedang menuju ke sana.”

”Jangan, Edo. Jangan ke sini… bahaya…,” lalu terdengar suara tembakan dan orang menjerit kesakitan.

”Ronald? Ronald? Kamu kenapakah?” Ronald tak menjawab lagi. Terdengar suara makin kacau dan teriakan orang-orang makin panik, ada yang minta tolong, jerit kesakitan, lari, lari, ada api, api, api…. Edo mempercepat laju mobil ke arah Penangsa. Aku semakin mencemaskan Inayah. (TAMAT,Hasan Aspahani-Bersambung ke Siapa Membunuh Putri II)


Editor : Irawan
Publisher : Ameg.id
Sumber : Ameg.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button