Sahabat ER

Sampahmu Sampahku

DI Kota Wisata Batu ada satu desa yang terbilang tertinggal pada tahun 2008, yaitu Desa Tlekung, Kecamatan Junrejo. Desa yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Malang ini merupakan induk pemekaran Kota Wisata Batu. Meskipun dibilang desa tertinggal, tapi sebenarnya banyak potensi alam yang indah karena sebagian besar wilayahnya adalah kawasan hutan, dimana sebagian warganya memanfaatkannya untuk mengais rezeki. Bahkan di dalamnya ada air terjun yang sangat menarik untuk dikembangkan jadi obyek wisata.

Pada akhir tahun 2007, sebelum saya dilantik, saya mengumpulkan banyak informasi, salah satunya tentang tempat pembuangan akhir (TPA) sampah untuk Kota Wisata Batu, yang lokasinya dekat dengan Hotel Agrokusuma. TPA ini dinilai mengganggu, apalagi pada musim hujan aromanya sangat menyengat dan menembus ke restoran hotel bahkan sampai ke kamar-kamar tamu. Tentu saja pihak hotel seringkali dikomplain oleh para tamu.

Baca Juga


Pada waktu itu, sampah yang terkumpul termasuk tidak banyak, yaitu hanya sekitar 2.000 – 3.000 M3/hari. Bandingkan dengan sekarang 8.000 – 10.000 M3/hari.

Ketika itu tahun 2007, saya belum jadi wali kota. Tetapi setelah dengan mata kepala sendiri saya melihat kondisi TPA dekat Hotel Agrokusuma itu, saya pun kemudian menyimpulkan, masalah sampah akan menjadi problem besar bila tidak dipecahkan dari awal.

Setelah saya dilantik, salah satu pekerjaan awal yang saya lakukan adalah ngurusi sampah. TPA harus dipindahkan. Kebetulan pemerintahan sebelumnya juga punya rencana untuk merelokasi TPA. Bahkan lahan penggantinya sudah disiapkan di Desa Giripurno. Maka awal 2008 bersama rombongan saya mengunjungi Desa Giripurno yang lokasinya di atas, sehingga untuk menuju ke sana harus melalui jalan yang menanjak. Kanan kiri kebun apel. Menurut saya, tidak layak untuk TPA, tapi justru sangat menarik kalau dijadikan kawasan wisata. Terlalu mewah untuk pembuangan sampah, tapi persoalannya harus ada lahan pengganti untuk relokasi TPA, yang mudah dan cepat dijangkau oleh kendaraan-kendaraan pengangkut sampah. Kami pulang kembali ke kantor.

Beberapa hari kemudian dengan menggunakan motor trail, saya berkeliling sampai ke pelosok-pelosok Kota Wisata Batu. Naik ke gunung-gunung, melewati pedesaan, ke luar masuk kawasan hutan. Setelah mencari lokasi yang pas untuk TPA, akhirnya saya menemukannya berada di Desa Tlekung. Hamparan lahan ini saya nilai layak menjadi tempat pembuangan sampah akhir yang berasal dari seluruh warga, restoran, hotel, tempat wisata dan sebagainya.

Singkat kata, dalam waktu yang tidak terlalu lama, setelah diputuskan melalui mekanisme yang berlaku, hamparan lahan di Tlekung itu ditetapkan sebagai tempat relokasi baru menggantikan TPA lama, dan sebagai pengganti dari lokasi yang dipilih pemerintahan sebelumnya.

Melalui sosialisasi dan mediasi pada warga sekaligus pemerintahan desa bersama tokoh masyarakat setempat, semua proses berjalan dengan baik, karena disertai kajian teknis oleh kalangan akademisi. Dipilihnya lokasi itu bukan berarti Desa Tlekung adalah kawasan tertinggal, kotor dan tidak diberi peluang untuk berkembang. Karena menurut saya, kawasan yang tertinggal justru harus lebih diperhatikan dari berbagai aspek seperti pendidikan, kesehatan, sosial dan lapangan kerja.

Desa Tlekung tidak hanya diperlakukan sebagai kawasan pinggiran, yang jarang ditengok oleh para pemangku pemerintahan. Fasilitas jalan sudah bagus, tapi memang jarang dilewati mobil dinas. Jarang mendapat kunjungan dari pemangku, meskipun hanya untuk sekadar mampir.

Kita sering lupa dan mengabaikan masalah sampah. Dianggap sepele, yang penting di ruangan kita ada tempat sampah untuk sekadar membuang kertas, tisu, bungkus rokok atau yang lain. Kita menganggap masalah sampah hanya sekadar buang kotoran, dan selesai. Tetapi sebenarnya ada masalah yang sangat rumit di belakangnya, yang mengandung unsur trust atau kepercayan. Karena itu kita percaya, soal sampah sudah ada yang mengurusinya, semua beres. Padahal untuk membereskannya itu, diperlukan kolaborasi dari banyak pihak, kerja bersama, karena ternyata masalah sampah sebenarnya adalah menyangkut kepentingan semua warga kota.

Ah, ternyata saya salah karena tidak mampu melihat perkembangan wilayah yang tentu saja akan berjalan seiring dengan peningkatan sampah. Ternyata sampah adalah menjadi salah satu hal fundamental dari sektor pariwisata. Mungkin kita terlalu terlena pada faktor pendapatan daerah. Kita senang melihat kemacetan. Kita bangga saat mendapatkan penghargaan. Namun kita lupa pada dampak sosialnya, lupa pada menggunungnya sampah yang nanti bakal diproduksi akibat pesatnya peningkatan sektor pariwisata.

Mungkin kita masih terjebak pada angka angka, namun semua itu akan kembali pada masyarakat, khususnya warga Desa Tlekung sendiri. Tapi bagaimanapun, saya tetap yakin masih ada sifat “guyub rukun” di Tlekung. Tidak ada egoisme pada warga yang sebagian adalah petani, yang pada umumnya tawadhu atau rendah hati dan tidak sombong, dan tidak pernah saling menyalahkan. Mendudukan rakyat di tempat yang baik di atas pemangkunya, adalah kultur mereka!

Cerita kecil ini menjadi catatan yang tertinggal saat melihat Desa Tlekung dengan rakyatnya yang indah, seperti wanginya hutan di sekitarnya.-

Sahabat ER ,
Semarang , 28 Agustus 2023.


Editor :
Publisher :
Sumber :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button