Regional

Guru dan Alumnus SPI Tampik Berita yang Beredar, Ini Kata Arist

AMEG – Lagi-lagi mencuatnya kasus dugaan kekerasan seksual, fisik dan eksploitasi ekonomi di Sekolah SPI Kota Batu ditampik salah satu pengajar dan alumni yang berada di sekolah tersebut. Keduanya kompak menyatakan, beredarnya kabar tersebut tidak benar.

Guru Bahasa Inggris dan Pembina Anak Muslim Sekolah SPI, Ahyat menegaskan hal tersebut tidak benar. Lantaran sejak dirinya mengajar di Sekolah SPI mulai 2007, tidak pernah menemui hal seperti yang tengah beredar saat ini.

“Setelah ada pemberitaan itu, saya sudah menanyakan kepada satu per satu siswa di asrama. Saya tidak menemukan jawaban seperti yang tengah diberitakan,” katanya kepada ameg.id, Senin (7/6/2021) saat ditemui bersama rombongan anggota MPC PP (Pemuda Pancasila) Kota Batu.

Baca Juga

Setelah menanyai satu per satu peserta didiknya, banyak mendapat jawaban, jika para peserta didik merasa enjoy dan senang sekolah di SPI.

Selama 14 tahun dirinya mengajar di Sekolah SPI, tak pernah mendengar selentingan perihal kekerasan seksual, fisik maupun eksploitasi ekonomi dari peserta didik. 

“Saya tidak pernah mendengar hal tersebut,” katanya.

Sementara itu, ketika disinggung mengenai apakah ada siswa yang melarikan diri. Dia tidak menampik hal tersebut. Bahwa beberapa tahun lalu ada siswa SPI yang melarikan diri. Karena tidak terbiasa hidup di dalam asrama.

“Anak yang melarikan diri itu, hidupnya sudah terbiasa bebas. Namun, setelah masuk ke dalam asrama dengan segala peraturannya, dia tidak terbiasa,” beber Ahyat. Sejak di buka hingga saat ini, baru ada satu anak yang melarikan diri.

Ia juga mengungkapkan, anak-anak Sekolah SPI juga memiliki tabungan satu per satu. Mereka bisa mengambil uang yang ada di tabungan itu. Kata Ahyat, uang itu didapat dari orang tua asuh.

“Kan uang-uangnya sendiri. Mereka bisa bebas mengambil. Namun jika ada informasi uang itu tidak bisa diambil saya belum tahu,” ujarnya. Ia mengatakan, saat ini Kepala Sekolah SPI tengah berada di Polda Jatim untuk dimintai keterangan.

Senada, salah satu alumnus Sekolah SPI yang masih berada di sekolah tersebut, Ani menjelaskan. Jika dirinya tidak pernah mengalami hal-hal seperti yang diberitakan saat ini. “Sejak tahun 2014 saya ada di sini. Saya tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu,” ujarnya.

Dia menyatakan, pemberitaan yang sudah menjadi isu nasional ini, membuat orang tuanya di rumah, merasa khawatir. 

“Beberapa hari lalu, saya sudah telpon orang ruang saya. Memberikan masukan kepada mereka untuk tidak usah kepikiran. Saya juga menceritakan, selama di sini, saya baik-baik saja. Tidak pernah mengalami kejadian seperti itu,” urainya.

Sementara itu, Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengutarakan. Kasus kekerasan seksual ini sulit terendus. Bahkan orang terdekat sekalipun tidak bisa mengetahui jika sang korban tidak menceritakan.

Sedangkan, kasus kekerasan fisik, berdasarkan hasil testimoni sejumlah siswa yang diceritakan kepada Arist, terjadi jika peserta didik tidak mampu mengimplementasikan skenario yang telah disiapkan saat ada tamu ataupun donatur yang datang.

“Contohnya, jika di Sekolah SPI kedatangan tamu atau donatur. Para peserta didik ini sudah disiapkan skenarionya. Jika tidak sesuai dengan skenario, mereka akan mendapat hukuman seperti tamparan, tendangan dan lainnya,” terangnya.

Arist juga mengungkapkan, anak-anak tersebut tidak hanya mendapat hukuman itu saja. Namun mereka juga mendapat hukuman siraman air ketika sedang beristirahat karena kelelahan. (*)


Editor : Yanuar Triwahyudi
Publisher : Rizal Prayoga
Sumber : -

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button