Disway

Safari Aladin

SAYA senang acara makan malam dengan mahasiswa di Nanjing ini di resto Aladin. Masakan Xinjiang. Serba kambing. Dengan mie kenyalnya yang besar, yang dipotong-potong tinggal seukuran 1 cm.

Saya sering makan di resto Xinjiang di berbagai kota di RRT. Tapi pilihan Sasa, mahasiswi bisnis internasional asal Bali ini, istimewa. Rasa satenya persis aslinya yang di Xinjiang.

Begitu tiba di resto Aladin terlihat penari tunggal di lobi dekat pintu masuk. Tari Xinjiang. Lagu Xinjiang. Penarinya laki-laki bertopi haji. Dilihat dari bentuk wajahnya juga orang Xinjiang. Itulah provinsi yang mayoritas penduduknya Islam. Jauh di barat, di perbatasan dengan Uzbekistan.

Baca Juga

Saya hampir saja gabung dengan penari itu. Ingat ketika saya di Xinjiang empat tahun lalu: ikut menari di plaza Bazar yang terkenal itu. Ratusan orang menari bersama. Laki perempuan. Gerakannya ada yang mirip zapin. Sebagian mereka pakai topi putih.

Di resto Aladin ini kami diberi tempat makan di lantai dua. Tapi tetap bisa melihat penari di lobi.

“Apakah kami nanti setelah lulus harus pulang? Harapan orang tua, saya harus pulang,” tanya Krisdahim Kogoya, asal Wamena.

Ia asli Wamena –kini ibu kota provinsi Papua Pegunungan. Hitam kulitnya, keriting rambutnya –seperti lirik dalam lagu kebanggaan orang Papua.

Saya harus menjawab itu. Namanya saja dialog sambil makan. Kris sudah empat tahun di Nanjing. Kuliah di南京信息工程大学 (Nanjing University of Information Science & Technology). Awalnya mengambil D3 software komputer. Tapi tahun pertama harus belajar bahasa dulu. Kris sudah begitu pandai berbahasa Mandarin. Saya kalah total.

Nilai kelulusan D3-nya sangat baik: GPA-nya 3,54/4,50. Karena itu Kris ditawari untuk langsung ke S1. Dapat beasiswa dari universitas. Tapi beasiswa itu hanya untuk prodi artificial intelligence. Syarat kedua, beasiswa hanya berlaku untuk satu tahun. Baru kalau nilainya bagus bisa dilanjutkan tahun kedua. “Puji Tuhan nilai tahun pertama saya bagus. Beasiswa bisa diteruskan. Mohon doa nilai di tahun kedua juga bagus,” katanya.

Untuk pertanyaannya saya sulit menjawab. Saya pernah ke Wamena. Kotanya kian besar. Sejuk selamanya. Sekitarnya pun indah. Bergunung-gunung. Berlembah-lembah.

Ayah Kris seorang guru bahasa Inggris di Wamena. Kalau Kris pulang, saya tidak tahu harus kerja apa di sana. Saya tidak punya ide. Ia sendiri juga belum tahu. Maka saya sampaikan apakah tidak sebaiknya bertahan dulu di luar negeri. Tidak harus di Tiongkok. Ke mana saja.

Ibarat alat kerja, Kris itu masih sebesar cangkul. Harus jadi traktor dulu. Kalau perlu jadi buldoser. Setelah itu barulah pulang ke Wamena.

Wamena perlu traktor besar. Bukan sekadar cangkul. Masalahnya, jangan-jangan, kalau sudah jadi traktor justru tidak mau pulang kampung. “Kalau saya, pilih jadi traktor dulu, baru pulang. Tapi harus ditanamkan dendam yang dalam di dada Anda, bahwa kalau sudah jadi traktor harus pulang,” kata saya.

Saya juga mengingatkan agar jangan takut dikatakan tidak nasionalis hanya gara-gara tidak mau pulang. “Tetap di luar negeri pun bisa nasionalis. Indonesia perlu network yang kuat di dunia internasional,” kata saya.

Sasa yang dari Bali mengemukakan persoalan antara hobi, keinginan, dan tuntutan keluarga. Sebenarnya Sasa ingin jadi penyelam profesional. Sampai mencapai tingkat master. Lalu bisa ikut menyelamatkan coral laut.

Tapi keluarganyi di Denpasar menginginkan Sasa cepat bisa bekerja. Mencari uang. Dua adiknyi juga harus dibiayai untuk kuliah. Sasa bingung berat. Harus bagaimana.

Awalnya, saya pikir, hobi Sasa di fashion. Terlihat dari profilnyi. Maka saya sarankan agar Sasa memberontak. Terjuni hobi itu habis-habisan. Sampai menjadi sumber penghasilan. Lihat hasilnya dalam dua tahun. Kalau gagal, banting stir.

Ternyata keinginan Sasa jadi penyelam. Maka saya minta Sasa berpikir ulang. Jangan takut bekerja yang tidak cocok dengan keinginan. Terlalu banyak orang sukses lewat pekerjaan yang tidak disukai. Kuncinya sungguh-sungguh.

Banyak yang bertanya malam kemarin. Ike mengemukakan soal kepemimpinan. Ia sendiri ketua mahasiswa Indonesia di Nanjing. Ike itu nama panggilan. Nama lengkapnyi: Eiricke Carolina de Poere. Asal Cibinong, Bogor. Berjilbab. Namanyi tidak seperti orang Sunda karena Ike masih keturunan Portugis dari kakeknyi.

Di Nanjing Ike mengambil prodi pendidikan bahasa Mandarin. Dia pernah sekolah bahasa di Guizhou, jauh di Tiongkok tenggara. Kini Ike menempuh S1 di Nanjing Shifan Daxue –IKIP-nya Nanjing.

Apakah Ike akan jadi guru bahasa Mandarin? “Saya akan bisnis. Agar ayah saya nanti tetap sibuk di usia pensiun beliau,” katanya. Sang ayah ahli teh. Kini menjabat manajer senior di sebuah perusahaan teh. Sebentar lagi pensiun.

“Salah satu tugas utama pemimpin adalah menyelesaikan persoalan. Makanya harus latihan sejak dari muda: jangan pernah lari dari persoalan. Hadapi. Terjuni. Cari jalan keluarnya,” kata saya. Masih banyak prinsip lainnya, tapi takut tulisan ini akan terlalu panjang.

Saya sudah sering ke Nanjing. Kota ini kian modern saja. Ketika berbuka puasa di masjid, saya pilih jalan kaki dari Hotel Jinling. Nama hotel itu diambil dari nama Nanjing di zaman kuno.

Saya tiba di Nanjing dari Shanghai. Mampir satu malam di kota kecil Yangzhong yang baru kali ini saya datangi.

Kami pun mengakhiri dialog pukul 21.00. Resto sudah siap-siap tutup. Sisa-sisa rasa masakan Xinjiang masih nyangkut di software otak saya. (*)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan*
Edisi 17 April 2023: Safari Nanjing

Samsul Arifin
Para profesor dan dosen Senior itu tidak mungkin melakukan steamcell seperti tokoh Negeri Jiran yang Anda pasti Udah tau. Meraka masih kelihatan sehat dikarenakan bisa jadi teori Anda itu benar. Begitupun Abah DI yang selalu tampak gembira dan riang dimanapun. Jadi pikiran dan hati yang selalu riang gembira juga menentukan fisik seseorang. Selamat berjuang mendapatkan malam LAILATUL QADAR di malam ke 27 Bulan Ramadan 1444 H. Salam Damai Dari IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo Jawa Timur

Parikesit
Ada pepatah klasik memangatakan : “Jika ingin harum, bergaullah dengan penjual parfum”. “Jika ingin awet muda, bergaullah dengan pemuda”. “Jika ingin merasakan sensasi aroma sate kambing madura, maka …….. (Anda sudah tahu)

Jhel_ng
Di rumah, saya berbincang dengan adik, mahasiswa kampus ternama di Surabaya. Kami membicarakan dosen dan profesor di tempat itu. Beberapa saya kenal baik. Bapak yang bergabung kemudian bertanya. Berapa usia profesor-profesor itu? Ada yang sudah pensiun di usia 70 tahun. Ada yang hendak pensiun. Ada yang hampir 60 tahun. Lanjut pertanyaan berikutnya: bagaimana kesehatannya, postur tubuh, warna rambut, dan kesehatan gigi beliau2? Rata-rata semua dalam kondisi baik, kelihatan sangat sehat dan energik. Ada yang bilang mereka seperti itu karena kebersihannya terjaga. Atau karena mendapat layanan kesehatan yang baik. Ada lagi yang berpendapat hal itu karena beliau2 sangat sering bertemu mahasiswi, eh mahasiswa. Mahasiswa yang muda, pikirannya menyala-nyala. Ada masa lalu tapi mereka sangat optimis menatap masa depan. Mereka mau berjuang demi masa depan yang mereka yakini, meskipun belum juga mereka dapat rasakan. Optimisme itu kemudian terpatri pada pikiran para dosen senior: mereka juga masih punya masa depan. Yaitu hidup lebih lama dan lebih banyak bermanfaat memberi inspirasi. Yang terakhir itu adalah pendapat saya. Abah DI sering dalam perjalanannya sering bertemu mahasiswi, eh mahasiswa, menjadi dasar saya untuk berteori. Kalau teori salah ya mohon dimaafkan. Mumpung mendekati lebaran, nanti malam sudah malem 7. Selamat pagi ini untuk mengawali pekan.

imau compo
Senang sekali lihat foto pelajar asal Papua di Nanjing bersama Pak DI. Bagaimana pun, lompatannya sangat besar bila dirujuk kepada cerita keponakan yg berteman dengan siswa asal Papua di sebuah bimbel SNBT. Perjalanannya ke Jakarta melalui sebuah hutan, berhari-hari, tidur di pohon sebelum sampai bandara. Ternyata bertemu orang, dalam perjalanan itu, bisa jadi lebih berbahaya dari bertemu harimau…eh salah, gak ada harimau di Papua (jadi kenapa harus tidur di atas pohon?). Di Jakarta, si anak lebih senang jalan kaki daripada naik angkot, saking senang lihat mobil warna-warni. Heran! Saya heran dengan keheranan saya sendiri, padahal dulu, waktu SD kegemaran saya juga karena saya terlahir di sebuah kampung yg dulu itu tidak ada jalan raya, diisolir sungai sehingga tidak bisa dilewati mobil. Anak Papua ini selalu dibantu keponakan dalam belajar karena memang faktanya berbeda kualitas pdd antara Jakarta dan Papua. Mereka sama-sama antusias, meskipun ponakan ini SD di Muhammadiyah, SMP di MTs. Keheranan berikutnya muncul saat baca internet mahasiswa Papua susah dapat kos di Yogyakarta. Sebelumnya sdh heran dengan hasil penelitian oleh Prof. Bambang Pranowo, UIN Jakarta, dengan hasil, remaja Jakarta intoleran, menginginkan negara Islam. Lebih heran lagi, hasil penelitian ini, dulu, ditaruh di halaman depan website UIN, padahal anda tahu satu penelitian belum tentu menggambarkan hal sebenarnya. Heran yg bikin muak, penelitian ini dibuatkan semacam ppt yg beredar di internet.

Everyday Mandarin
Ada 150 mahasiswa Indonesia di Nanjing. Komen: 150 itu yang sudah melapor ke perhimpunan. Yang belum lapor, asumsi mereka sibuk dgn bisnis di China, yg lg cari gebetan org China, atau lone wolf di Nanjing -juga kota² lainnya- bisa jadi jauh lebih dr 150 orang. Apalagi Nanjing termasuk kota besar di China. Banyak org Indonesia yg merasa terlalu sering ngumpul² dgn sesama teman Indonesia di sana membuat bahasa Mandarin mrk mentok.

edi fitriadi
Kelihatannya kalau soal desain mesjid, tiongkok ingin semua mesjid desainnya seperti bangunan yg ada di tiongkok bukan seperti desain yg ada di timur tengah

Fiona Handoko
karna jalanan di lampung banyak rusak. sebagai rakyat yang taat bayar pajak. bima, mahasiswa asal lampung yg sedang kuliah di australia melakukan kritik terhadap kinerja pemerintah daerahnya. akibatnya? keluarga bima dimaki maki bupati. dan bima dilaporkan ke POLDA dengan tuduhan menyebarkan hoax. rumah bima pun dijaga aparat. mirip cara kerja “jek penak jamanku tho?” netizen pun ramai2 upload warga lampung dan jalanan kubangan kerbaunya. bahkan ada warga yg mengeluh, sudah 10 tahun jalanan rusak di muka rumahnya. tidak pernah diperbaiki. uang pajak dipakai untuk apa? ada yg bilang utk bangun islamic center 75M. tapi kini masih mangkrak. ada yg bilang untuk beli mobil dinas petinggi provinsi, dsb dsb. untung mas bima mengeluh di tahun 2023. banyak politikus bersuara membela “rakyat yang diperkarakan petinggi provinsi”. coba kalau mas bima bersuara di tahun 2019 – 2022. pasti langsung masuk ranah hukum, proses pidana. masalahnya ini 2023. saatnya kelompok yg tahun2 lalu ketiduran di rumah wakil rakyat pada bangun. dan mulai ngoceh ngomong soal keadilan dan keberpihakan.

MULIYANTO KRISTA
Preeettttttttttttt……. ……….

Mbah Mars
Tidak mengangkat tangan setelah ruku’ berarti saat i’tidal. Tidak mengangkat tangan setelah tasyahud tentu yang dimaksud tasyahud awal karena kalau setelah tasyahud akhir adalah salam. Ini memang beda dengan cara salat muslim Indonesia. Inilah yang disebut tanawwu’ul ibadah. Keragaman dalam cara beribadah. Sepanjang masing-masing memiliki dasar dalil yang kuat maka no problem. Dengan adanya dalil yang kuat itu berarti diyakini bahwa Rasulullah SAW memang pernah melakukan shalat dengan banyak cara. Sekali waktu mengangkat tangan saat i’tidal. Di waktu lain tidak mengangkat tangan. Kalau tidak berdasar dalil bagaimana ? Itu namanya ngawur. Dalam urusan ibadah mahdhoh berlaku ushul fiqh, “Semua dilarang kecuali ada perintah”. Suatu saat saya menemukan orang yang tidur pulas telentang di lantai atas Masjidil Haram. Begitu terdengar iqamat ia “jrenggat” bangun dan langsung bergabung sholat subuh. Saya “bertakon-takon” dalam hati. Adakah fiqh yang menyatakan bahwa tidur telentang pulas tidak membatalkan wudhu ? Apakah ini bagian dari tanawwu’ul ibadah ?

Warung Faiz
Jd teringat cerita anak bujang,pas pertama kali datang ke chengdu… Diajak teman kuliahnya yg dr Pakistan utk sholat jumat,berangkatlah mereka bersama teman2 Indonesia lainnya.. Ketika imamnya selesai membaca Al fateha_serempak mereka mengucapkan aminn dgn kerasnya… Ternyata betul kata abah,aminnya lirih dan pendek,nyaris tak terdengar.. Sekarang ini memang sdh banyak mahasiswa2 muslim di Tiongkok,terutama yg datang dr Indonesia,Uzbek,Tajikistan,Pakistan,Bangladesh dan negara2 Timur Tengah… Sedikit sharing,kuliah di Tiongkok pd dasarnya tdk terlalu besar biayanya… Dengan catatan dpt beasiswa pendidikan jg ditanggung asramanya… Mengenai biaya makan jg tdk terlalu besar_contohnya utk nasi telur makan di kantin sekitar 5 Yuan atau dlm Rupiah sekitar 11rb,sementara nasi ayam sekitar 6-7 Yuan… Kantin nya jg ada 2,kantin halal dan kantin non halal_jadi jgn takut dgn masalah makanan halal..

M Gathmir
Sy pernah Sholat Iedul Adha di Munich dengan teman2. Sama dengan pengalaman Abah, waktu Imam selesai Alfatihah, rombongan kami paling kenceeng Amin dan langsing pet pelan karena yang lain hanya mengucapkan pelan. Kalo kita di Indo sebelum Alfatihah, takbir 7x pada rekaat pertama dan 5x pada rekaat kedua. Disana takbir dilakukan setelah Alfatihah, jadi beberapa kelucuan yg terjadi. Pertama mengucapkan Amin yang keras padahal semuanya pelan, kelucuan kedua setelah Alfatiha kita semua pada mau rukuk, ternyata Takbir. Disebelah Sy kelihatannya tahu, jadi pada saat mau rukuk dia halangin dgn tangan. Dalam rombongan kami ada 2cewe yang sholatnya diruangan tersendiri dan waktu itu hanya dia yg sholat (wanita disana tidak ada yg ke masjid), tambah bingung lagi karena tidak contoh. Jadi setelah Alfatihah dikira tidak ada takbir 7x & 5x, jadi rukuk, sujud, duduk dst. tapi kok takbirnya banyak…rekaat kedua juga gitu kenapa takbir terus tapi nggak ada tahiyat……:-)

Alfi Nur Afifah
“Yang bukan saudara mu dalam seiman adalah saudaramu dalam kemanusiaan” Sayyidina Ali bin Abi Thalib #Salam Toleransi

mzarifin umarzain
Muslim Uigur dianggap separatis? Muslim Hui dianggap inklusif?

Komentator Spesialis
Kemaren, 2 orang Islam mantan anggota parlemen India, terbunuh ditembak secara keji saat memberi keterangan kepada wartawan oleh ekstimis Hindu. Bahkan yang bikin kacau, pemimpin ekstremis koar koar akan merebut Ka’bah dan mengganti zam zam dengan sungai gangga. Ada ada saja. Perlu diperiksa apakah masih waras otaknya. Tetapi, semoga mereka diberikan hidayah oleh Allah. Aamiin.

Johannes Kitono
Masalah teknis telah membuat saya kehilangan beberapa kali kesempatan memberikan komentar di CHD. Pertama tentu salut buat Juragan Disway yang mobilitasnya sangat tinggi dan dinamis melebihi kecepatan Ninja. Hari ini Safari Ramadhan tahu-tahu besoknya sudah naik KA di Beijing – Tianjin, China. Merayakan Ultah Transpalansi * Hati * tentu bukan tambatan Hati yang ke 17. Kalau usia organ penyambung nyawa itu dijadikan patokan maka usia biologisnya menjadi 17 + 73 = 90/2 = 45 tahun. Usia saat puber kedua yang tentu mesin-mesinnya masih tokcer dan prima. Apalagi ditambah dengan acara berbuka puasa bersama para mahasiwa/wi Indonesia disana. Semoga contoh tingkat toleransi mahasiswa disana bisa berlaku juga di tanah air Indonesia. Khususnya pada saat-saat menjelang Pemilu tahun 2024 yang sudah didepan mata.Seharusnya para politisi Indonesia di advokasi oleh CHD bisa juga melakukan hal yang sama. Semoga !!!

Lusy Anggraini
Saya dulu SD di SDN. Pada saat pelajaran agama islam bab sholat ada beberapa yg berbeda dengan yang saya pelajari di TPQ, perbedaan tsb seperti: wudlu pada bagian mengusap kepala, guru sekolah mengajarkan mengusap seluruh kepala, sedangkan guru ngaji mengusap sebagian kepala walau hanya beberapa helai rambut. Praktek sholat pun juga berbeda pada bagian bacaan takbirotul ihrom, membaca basmalah pada surat Al-fatihah (dg bersuara, tdk bersuara), bacaan rukuk dan sujud, bacaan tasyahud (tambahan kata Sayyidina). Karena Saya sudah terbiasa dg yg diajarkan di TPQ dan ayah-ibu juga demikian, jadi saat praktek sholat di sekolah saya mengikuti yg diajarkan guru agama saya supaya dapat nilai bagus 🙂

*) Dari komentar pembaca http://disway.id


Editor :
Publisher :
Sumber :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button