Hukum

Soal OTT Pegawai BPN Kabupaten Malang, Alhaidary: Suap atau Pemerasan?

AMEG – Perbuatan pemerasan yang diduga dilakukan oknum pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Malang berinisial W, mengundang komentar dari praktisi hukum di Malang.

Praktik pemerasan ini berhasil diungkap Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Malang Kota dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa (21/02/2023) siang. Dari tangan tersangka W, petugas mengamankan uang tunai Rp.40 juta.

“Sampai sejauh ini saya tidak tahu tindak pidana apa dan pasal berapa yang disangkakan terhadap yang terkena OTT terdebut,” kata MS Alhaidary SH MH. , advokat senior di Malang kepada Malang Post, Jumat (24/2/2023).

Baca Juga

Alhaidary menjelaskan, secara umum istilah operasi tangkap tangan (OTT) adalah operasi yang sudah dirancang sedemikian rupa oleh aparat penegak hukum untuk menangkap orang yang akan melakukan tindak pidana.

Halnya OTT terhadap W, petugas bagian pendaftaran di BPN/ATR Kabupaten Malang ini diawali ketika korban merasa diperas saat mengurus sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dimana korban diminta menyiapkan dana Rp 85 juta.

OTT di Kantor BPN/ATR Kabupaten Malang itu dibenarkan oleh Kasat Reskrim Polres Malang Kota, Kompol Bayu Febrianto Prayoga dan menegaskan jika W sudah memenuhi unsur ditetapkan sebagai tersangka.

Alhaidary merespon baik kerja petugas dalam OTT di Kantor BPN/ATR yang selama ini tidak mudah diungkap. Menurutnya, operasi tangkap tangan (Hard Arrest Operation) selama ini hanya dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi melalui operasi rahasia (silent operation) yang terstruktur.

Soal perbuatan yang dilakukan oknum pejabat BPN/ATR itu tergolong OTT atau pemerasan, menurut Alhaidary dari istilah tangkap tangan diatur dalam pasal 1 ayat (19) KUHAP.

“Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, kemudian ditemukan benda yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu,” jelas praktisi hukum yang berkantor di Jalan Trunojoyo Malang itu.

Mengenai orang yang tertangkap tangan telah memenuhi semua unsur delik, maka delik itu telah selesai (vooltoide delic). “Jika seseorang yang tertangkap tangan belum memenuhi semua unsur delik, hakikatnya masih dalam delik percobaan,” ungkapnya.

Tentang pasal apa ditetapkan penyidik kepada tersangka W, Alhaidary mengatakan, hal itu tergantung perbuatan yang dilakukan tersangka. “Apakah pasal pemerasan atau penyuapan atau gratifikasi atau pungli,” tegasnya.

Perbedaan istilah itu, kata Alhaidary bisa dilihat dari waktu, tujuan, pelaku, dan intensinya. Perbedaan dari sisi pelaku bisa dilihat pada istilah suap dan pemerasan.

Penyuapan sudah diatur dalam UU No. 11/1980 tentang Suap. Tapi UU itu walaupun masih berlaku jarang digunakan. Karena sudah ditarik ke dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirumuskan ke dalam 30 bentuk yang kemudian dikelompokkan menjadi tujuh kategori.

Suap terjadi jika pengguna jasa secara aktif menawarkan imbalan kepada petugas layanan dengan maksud agar urusannya lebih cepat, walau melanggar prosedur.

Sebaliknya, pemerasan terjadi jika petugas layanan yang secara aktif menawarkan jasa atau meminta imbalan kepada pengguna jasa untuk mempercepat layanannya, walau melanggar prosedur. “Uang pelicin bisa menjadi gabungan dari suap dan pemerasan,” kata Alhaidary.

Suap dan pemerasan akan terjadi jika terjadi transaksi atau deal antara kedua belah pihak. Berbeda dengan gratifikasi, yang tidak ada kesepakatan di antara keduanya.

Gratifikasi terjadi jika pihak pengguna layanan memberi sesuatu kepada pemberi layanan tanpa adanya penawaran atau transaksi apapun. Pemberian ini terkesan tanpa maksud apa-apa.

Namun di balik itu, gratifikasi diberikan untuk menggugah hati petugas layanan, agar di kemudian hari tujuan pengguna jasa dapat dimudahkan. Istilahnya “tanam budi”, yang suatu saat bisa ditagih.

Penyuapan dan pemerasan memiliki unsur janji atau bertujuan menginginkan sesuatu dari pemberian tersebut. Sedangkan gratifikasi adalah pemberian yang tidak memiliki unsur janji. ” Tetapi gratifikasi juga dapat disebut suap jika pihak yang bersangkutan memiliki hubungan dengan jabatan yang berlawanan dengan kewajiban dan hak yang bersangkutan,” tutur Alhaidary.

Gratifikasi memiliki hukuman lebih berat. Dalam Pasal 12, hukuman bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terbukti menerima gratifikasi adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Tapi dalam kasus gratifikasi, kata Alhaidary, penerima tidak akan terkena hukuman jika dia melaporkan gratifikasi tersebut kepada KPK. (*)


Editor :
Publisher :
Sumber :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button