Nasional

Tabrak Ibu Tewas di Mojokerto dalam Kajian Psikologi

Ini mudik maut. Di depan, Masringah (48) naik Yamaha Vega. Di belakang, Agus Wahyudi (28) bonceng adik, naik Yamaha Vixion. Tahu-tahu, Masringah tersenggol pickup, jatuh ke kanan. Terlindas motor Agus, tewas. Masringah adalah ibunda Agus.

***

VIDEONYA viral. Agus dan adiknya, duduk di jalan aspal, menangis histeris, memangku jasad ibunda yang belepotan darah.

Baca Juga

Itu terjadi di Jalan Nasional Dusun Jatisumber, Trowulan, Mojokerto, Jatim, Sabtu, 30 April 2022, pukul 07.30 WIB.

Kecelakaan tragis itu ditangani Kanit Laka Satlantas Polres Mojokerto, Iptu Wihandoko. “Itu kecelakaan ibu dan anak,” katanya.

Dikisahkan, Masringah, Agus dan adiknya rombongan mudik dari Surabaya, tujuan Kediri. Kondisi jalanan di tempat kejadian saat itu, ramai lancar. Meskipun itu di wilayah dusun.

Komposisi urutan: Mobil pickup putih plat L (tidak diketahui nomornya). Motor Masringah. Motor Agus, membonceng adik. Jarak antara motor ibu-anak itu tidak sampai tiga meter. Kecepatan stabil sekitar 50 km per jam.

Di belakang Agus, ada motor Honda Supra Fit X nopol L 6201 AQ dikendarai Mukhtarom (48). Di belakang Mukhtarom, ada deretan banyak motor dan mobil.

Mendadak, motor Masringah tersenggol pickup (melarikan diri). Oleng, jatuh ke arah kanan.

Spontan, motor Agus melindas Masringah. Tubuh Masringah, beberapa detik, nyangkut di shock breaker depan motor Agus. Lalu dilindas ban depan, lanjut ban belakang.

Tubuh Masringah dilindas pula oleh motor di belakang Agus. Beruntun lima motor, ambruk semua di situ.

Lantas (ini yang divideokan) Agus dan adiknya duduk di jalan aspal. Memangku jasad Masringah. Agus dan adik menangis histeris, menyebut nama ibu mereka. Warga tak kuasa menolong. Sampai polisi tiba di TKP.

Masringah dilarikan ke RSUD Dr Wahidin Sudiro Husodo, Kota Mojokerto. Tapi, sudah meninggal. Status: Death on arrival.

Iptu Wihandoko kepada pers dengan wajah sedih, mengatakan: “Tidak ada kejahatan. Itu kecelakaan.”

Beban psikologis Agus dan adik, pastinya berat. Peristiwa lima detik pada dua hari jelang Lebaran itu, bakal mengendap seumur hidup.

Untuk mengetahui beban psikologis itu, ada contohnya. Kejadian nyata. Dimuat di Koran Amerika, The New Yorker terbitan 18 September 2017, bertajuk: “Accidental Killers”. Ditulis Reporter Alice Gregory. Yang mewawancarai Maryann Gray (62 tahun pada 2017). Dikisahkan begini:

15 Juni 1977, Maryann Gray (waktu itu usia 22) baru saja cuti dari Universitas Miami, di Oxford, Ohio, Amerika Serikat, tempat dia kuliah pasca-sarjana bidang studi Psikologi Klinis.

Hari itu musim panas, Gray nyetir sendiri mobil milik ayah, Mercury Cougar buatan 1969. Dari apartemen di Oxford ke rumah ortu yang kosong di daerah Cincinnati. Waktu tempuh bermobil tak sampai sejam. Tiba di sana hari masih pagi.

Di rumah kosong itu Gray memperbaiki. Mengecat dinding, memaku pagar teras kayu yang lepas. Dia berencana tinggal di situ selama cuti kuliah.

Sorenya, ia balik ke Oxford, berniat berenang karena kegerahan sehabis ngecat rumah. Hari sudah jelang gelap. Melewati jalan mulus pedesaan penuh pohon di kiri-kanan. Jalanan sepi. Mobil Gray melaju sekitar 50 km per jam.

Mendadak, seorang bocah lelaki rambut pirang, usia sekitar 10, berlari dari pinggir kanan jalan, hendak menyeberang. Wanita (ternyata ibu si bocah) mengejar dari belakang. Tampaknya berusaha mencegah si bocah menyeberang.

Jarak bocah dengan mobil Gray, tak sampai tiga meter.

Gray panik. Dia banting stir ke kiri, sambil ngerem abis. Mobil ngepot. “Lalu terdengar boom… Roda mobil terasa menginjak sesuatu. Saya berteriak histeris,” cerita Gray.

Wanita di pinggir jalan, melongok kolong mobil. Berteriak histeris. Lalu jatuh tergeletak, pingsan.

Mobil berhenti. Gray terdiam di duduknyi. Tak kuasa keluar, apalagi melongok kolong mobil. Tapi, dia harus bertanggung jawab. Dia paksakan keluar mobil.

Gray: “Saya akhirnya keluar dari mobil. Di pinggir jalan, saya kehilangan beberapa menit.” Maksudnya: ia pingsan.

Gray tak tahu, berapa lama ia pingsan. Tapi tak lama. Karena ia tersadar ketika banyak orang berkerumun di situ. Gray melihat wanita yang pingsan tadi dibopong warga. Dan, si bocah masih di kolong mobil. Tak bergerak.

Gray: “Saya bangkit, lalu berjalan mendatangi wanita yang dibopong itu. Tapi, beberapa orang mencegah saya mendekati dia (she). Lalu saya dibimbing polisi, menepi jalan.”

Bocah diambil polisi dari kolong mobil. Lantas, dinaikkan jok belakang mobil polisi. Dilarikan ke rumah sakit.

Gray: “Beberapa waktu kemudian saya diberitahu, bocah laki itu sudah meninggal saat tiba di rumah sakit. Death on arrival.”

Polisi tidak menetapkan Gray sebagai tersangka. Gray hanya dimintai keterangan di kantor polisi, lalu bebas pergi. Bebas dari hukum.

Gray menghabiskan seminggu di dalam kamar apartemen. Dia hanya keluar untuk makan. “Saya mengalami, apa yang sekarang saya anggap sebagai halusinasi,” kata Gray kepada Reporter.

Halusinasi macam apakah? “Saya mendengar suara ini, dengan sangat jelas, mengatakan: Kamu mengambil seorang putra dari ibunya. Dan hukumanmu adalah, kamu tidak akan pernah bisa punya anak sendiri.”

Gray, yang mahasiswi pasca-sarjana bidang Psikologi Klinis, kemudian diterapi psikiater. Untuk memulihkan suara-suara (halusinasi) yang muncul itu. Terapi selama dua tahun.

Dia masih nyetir mobil. Tapi, kadang mendadak ngerem. “Saya seperti melihat sesosok anak laki, rambut pirang. Menyeberang mendadak. Jadinya, mobil saya ditabrak mobil lain dari belakang.”

Karena kejadian begitu sering, maka dia memutuskan tidak menyetir mobil lagi.

Bumi terus berputar pada porosnya. Hari berlalu, kehidupan Gray berlanjut. Dia menikah. Bertahun-tahun tanpa anak, walau mereka menginginkan kehadiran anak. Akhirnya mereka bercerai.

Gray menceritakan kisah 40 tahun itu (1977 sampai dimuat koran 2017) tanpa penyesalan. Karena dia tahu, bahwa kejadian itu bukan salah dia. Walaupun kejadian itu lengket selama 40 tahun di memori otak.

Soal dia tidak punya anak, meski dia dan suami menginginkan, juga tidak disesali. Ia berusaha keras tidak mengaitkan kodrat tersebut atas halusinasi, bahwa dia ‘diancam’ tidak akan punya anak sendiri seumur hidup.

Tidak. Gray tidak mengaitkan kondisi dengan halusinasi. Ia berusaha keras melupakan kejadian tersebut, termasuk halusinasinya. Tapi, dia mengakui, bahwa usaha dia tidaklah gampang.

Gray tidak menjelaskan, apakah tidak gampang melupakan itu berarti sampai 2017 dia masih dihantui peristiwa tersebut. Tidak dijelaskan. Tapi dari kata-kata dia, tampak bahwa kejadian lama masih menghantui.

Kisah Gray, menabrak orang lain. Bukan anggota keluarga.

Lalu, bagaimana dengan Agus Wahyudi? Bagaimana dengan peristiwa serupa menimpa orang lain? Apakah perlu terapi seperti Gray?

Meski kisah-kisah nyata itu bukan disengaja, tapi itu bisa dijadikan bahan pelajaran masyarakat. Ketika mengemudi di jalan raya. (*)


Editor : Irawan
Publisher : Ameg.id
Sumber : Ameg.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button