Nasional

Teroris KKB, Protes Begini…

Predikat teroris buat KKB (kelompok kriminal bersenjata) Papua direaksi. Di Papua, KKB membakar sekolah dan puskesmas. Di gedung DPR Jakarta, para tokoh asal Papua keberatan label ”teroris” meski mereka bukan bagian KKB. Padahal, keputusan ”teroris” sudah jatuh.

***

Terorisme di Indonesia secara garis besar di tiga pulau: Jawa, Sulawesi, dan Papua plus Papua Barat. Ada riak-riak kecil di Kalimantan, tapi tidak signifikan.

Baca Juga

Di Jawa, Anda semua sudah tahu. Begitu juga di Sulawesi, semua tahu kelompok Poso, atau jaringan Mujahidin Indonesia Timur (MIT). 

Dua grup itu belum tuntas benar, muncul terbaru, KKB di Papua dan Papua Barat. Yang pekan lalu digolongkan pemerintah sebagai teroris.

Menko Polhukam Mahfud MD mengumumkan bahwa KKB Papua sebagai teroris pada Kamis (29/4/2021). Dijawab KKB dengan pembakaran sekolah (SD di Mayuberi) dan puskesmas di Ilaga, Papua, Minggu (2/5/2021). Atau tiga hari setelah pengumuman teroris KKB.

Pembakaran gedung sekolah dan puskesmas dilengkapi dengan merusak tiga akses jalan, tak jauh dari lokasi pembakaran.

Kabidhumas Polda Papua Kombes Ahmad Musthofa Kamal dalam keterangan pers, Selasa (4/5/2021) mengatakan, “Fasilitas jalan yang dirusak sebagai berikut, Jembatan Kimak, Jalan Tagaloa, Jalan Wuloni Pintu Angin.”

Sementara itu, bangunan yang dibakar adalah lima ruang kelas gedung SD Mayuberi, rumah dinas guru, gedung puskesmas lama. Teroris KKB membakar dan merusak jalan dilanjut Senin (3/5/2021).

Bagaimana cara mereka merusak jalan? “Jalan tersebut digali, kedalaman 25–40 cm,” kata Ahmad Musthofa.

“Saat kelompok pertama membakar puskesmas dan SD Mayuberi, kelompok lain merusak tiga titik Jalan Mayuberi, Jalan Kimak, Jalan Wuloni. Sedangkan kelompok bersenjata berada di pinggir jalan mengamankan perusakan tersebut,” tuturnya.

Itu belum tertangani polisi. Tahu-tahu, para tokoh Papua di gedung DPR Senayan, Jakarta, menyatakan keberatan sebutan teroris untuk KKB Papua. Protes damai itu dilakukan pada Selasa (4/5/2021).

Para tokoh asal Papua itu, Freddy Numberi, Lenis Kogoya, Yorrys Raweyai, dan lain-lain. Mereka membacakan tujuh sikap para tokoh senior asal Papua, merespons predikat ”teroris” KKB Papua.

“OPM (Organisasi Papua Merdeka) adalah bom waktu yang diciptakan Belanda, bukan orang Papua sendiri. Kemudian, itu berkembang, bertumbuh, manakala terjadi kemiskinan, manakala terjadi keterlantaran dan sebagainya. Di Jawa, Sumatera, di mana-mana pun sama, rakyat manakala telantar, miskin, terdiskriminasi, tidak diperhatikan, pasti benci pemerintah,” ujar Freddy Numberi.

Para tokoh meminta pemerintah fokus saja menyelesaikan permasalahan di Papua. Penyelesaian secara damai. 

Karena penyelesaian secara keras, menurut mereka, merugikan warga Papua. Juga, merugikan nama Indonesia di internasional (maksudnya, pelanggaran HAM). Walau mereka tidak menyebut kata ”HAM”. Mungkin, karena tindakan KKB Papua selama ini melanggar HAM.

Dari kronologi waktu, tampak reaksi Papua berentet. Hari ke hari. Baik yang keras (pembakaran dan perusakan jalan) maupun cara diplomasi. Tiada hari tanpa reaksi (terhadap julukan teroris KKB Papua).

Dari pernyataan Freddy Numberi, ada tiga istilah: 1) Miskin. 2) Telantar. 3) Diskriminasi. Maksudnya, warga Papua dan Papua Barat mengalami tiga hal itu sekarang.

Memang benar. Penulis selama keliling Papua dan Papua Barat tahun lalu, warga di sana secara umum miskin. Mayoritas miskin. Banyak yang sulit makan. 

Harga sepiring nasi, lauk seiris ikan, di warung tenda kaki lima rata-rata Rp 50 ribu. Kira-kira tiga kali harga di Jakarta untuk item sama. Padahal, penghasilan penduduk di sana jauh di bawah Jakarta. Penduduk di sana makan umbi-umbian. Yang murah. Bisa dibilang, warga sana miskin.

Tapi, di Jawa pun jutaan orang miskin. Dalam arti, sulit cari makan. Di Jakarta, misalnya, kawasan kumuh Tebet, ribuan orang makan sehari cuma sekali. Dengan mi instan Rp 2.500.

Nomor dua, ”telantar” bersifat relatif. Deskripsinya bagaimana? Siapa yang menelantarkan? Pemerintah pusat atau daerah?

Nomor tiga, ”diskriminasi”, bias. Di seluruh dunia ada diskriminasi. Kulit putih ke hitam. Orang Jepang menyebut orang non-Jepang: gaijin. Di Indonesia pribumi ke nonpribumi. Belum lagi, antarumat beragama.

Pernyataan nomor satu sampai tiga itu mengabaikan upaya pemerintah membangun Papua dan Papua Barat selama lebih dari lima tahun belakangan ini. Seolah tiada pembangunan. Padahal banyak.

 Jalan trans-Papua. Dari Kota Sorong di Provinsi Papua Barat hingga Merauke di Provinsi Papua. Sepanjang 4.330,07 kilometer. Atau sekitar tujuh kali jarak Jakarta–Surabaya. Diresmikan Presiden Jokowi 2018.

 Jembatan Panjang Hamadi-Holtekam. Jembatan pertama di Indonesia yang didesain untuk tujuan wisata. Menjadikan Kota Jayapura pintu gerbang, berbatasan langsung dengan Papua Nugini. 

Jembatan itu 1.328 meter di atas Teluk Youtefa. Menghubungkan Kota Jayapura dengan Distrik Muara Tami di Provinsi Papua. Menjadikan waktu tempuh Jayapura–Skouw yang semula 2,5 jam jadi 60 menit. Diresmikan Jokowi pada Juli 2019.

Infrastruktur listrik di Papua dan Papua Barat. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Orya Genyem 2 x 10 MW. Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro Prafi 2 x 1 25 MW. Sutet 70 kilovolt Genyem-Waena-Jayapura sepanjang 174,6 kilometer sirkit.

SUTET 70 kilovolt Holtekamp–Jayapura sepanjang 43,4 kilometer sirkit, Gardu Induk Waena–Sentani 20 megavolt Ampere dan Gardu Induk Jayapura 20 megavolt Ampere.

Bandara Sentani direhab. Dari kelas satu jadi bandara kelas internasional. Diresmikan Jokowi pada 2017.

Pembangunan itu bisa saja dipelesetkan jadi begini: ”Kami tidak makan jalan, tidak makan jembatan, tidak makan listrik. Melainkan, butuh duit buat beli nasi.”

Pelesetan model goblok-goblokan begitu sering muncul. Dimunculkan politikus. Sebagai kompor. Padahal, duit untuk beli nasi tidak bisa didapat jika banyak wilayah terisolasi. Yang berarti harus dibangun infrastruktur dulu. Sebelum sampai nasi.

Dengan fakta-fakta tersebut, pernyataan Freddy Numberi jadi tidak relevan. Papua dan Papua Barat tidak dibiarkan miskin. Tidak. Pengentasan kemiskinan di sana terus berlangsung. 

Jokowi beberapa waktu lalu menyatu dengan warga Kaimana, Papua Barat. Berjoget. Diiringi lagu sangat lawas Senja di Kaimana. Saking gembiranya membangun Papua Barat.

Freddy Numberi seperti mengabaikan persoalan utama KKB Papua, yakni ingin merdeka. Bukan soal lapar.  

Buktinya, tokoh bernama Benny Wenda, yang kini mukim di London, Inggris, mengeklaim diri sebagai presiden Papua Barat. Politik. Kekuasaan. Rebut dengan diplomasi, juga bersenjata.

Papua dan Papua Barat, anak-anak ibu pertiwi, bagian dari 34 provinsi. Dua dari 34 anaknya Indonesia. Dua anak yang nakal dan kolokan. (*)


Editor :
Publisher :
Sumber :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button