Nasional

The Next Gontor ada di Surabaya

Menjaga Lentera Dakwah Pesantren JeHa Jarak-Dolly (6)

Masjid Baitul Hidayah, Sekolah Bahrul Ulum, dan lokalisasi Dolly sama-sama mulai berkembang di awal 1970. Namun, harus diakui bahwa kemaksiatan tumbuh lebih subur kala itu. Haji Umar Abdul Aziz yang mendirikan sekolah dan masjid mulai khawatir. Semua anak-anaknya diungsikan ke Pondok Gontor di Ponorogo.

***

Mohammad Rofi’uddin masih sibuk dengan smartphone-nya Jumat (30/4/2021), malam itu. Sementara kakaknya, Kiai Mohammad Nu’man begitu antusias menceritakan masa kecilnya di lokalisasi Jarak-Dolly dan perjuangan sang abah dalam syiar Islam.

Baca Juga

Para pendiri Pesantren Jauharotul Hikmah (JeHa) Jarak-Dolly itu duduk bersila di tengah masjid setengah jadi. Lantainya dikeramik lebih awal agar bisa dipakai berkumpul.

Tak terasa, hampir dua jam kami duduk di masjid yang didirikan di atas tiga bangunan eks wisma atau tempat pelacuran itu. 

“Nah, ketemu,” kata Rofik sambil menunjukkan layar smartphone-nya. Ia mengajak kami berpetualang ke masa silam. Banyak foto-foto jadul berwarna agak kemerahan yang ia tunjukkan. Kiai Nu’man ikut mendekat karena penasaran. 

Ada foto seorang bapak mengenakan kemeja duduk berdesakan dengan putra-putrinya. Kalau dilihat dari situasinya, foto itu diambil di dalam gerbong kereta. 

Anak laki-laki berkemeja putih yang duduk di tengah menengok ke kamera. Sementara yang lain menghadap ke depan. “Itu, yang tengah mas saya sama abah,” kata Rofik menunjuk ke arah Kiai Nu’man. 

Haji Umar (Kanan) bersama putranya Mohammad Nu’man yang kelak menjadi santri pendiri Pesantren JeHa.  (dokumen pribadi)

Ia tersenyum melihat foto dirinya saat masih bocah, masih SD. Waktu bergulir begitu cepatnya. Sang abah mengantarnya hingga meraih gelar doktor.

Foto selanjutnya memperlihatkan sosok pria berkacamata hitam, berkemeja putih sedang berdiri di atas bangunan dua lantai. Itulah Haji Umar saat muda yang berdiri di Masjid Baitul Hidayah.

Masih banyak pepohonan rimbun pada latar belakang foto itu. Ini menunjukkan bahwa masih banyak tanah yang belum dikembangkan di kawasan Jarak Dolly.

Nu’man masih ingat, kala itu listrik masih sulit di kawasan Jarak-Dolly. Eks Pemakaman Tionghoa itu termasuk kawasan yang belum diperhatikan pemerintah. 

Jalannya pun masih belum diaspal. Masih jalan makadam yang berbatu. Situasinya jauh berbeda dengan kawasan tengah kota. “Saya itu senang kalau diajak abah ke Wonokromo. Ada pasar besar di sana. Besar sekali,” ujar pendiri Pesantren JeHa itu.

Mereka berboncengan naik sepeda kayuh dengan dua karung di belakang. Kalau karung sudah terisi bahan belanjaan, Nu’man duduk di atasnya. “Sebelum pulang pasti mampir rawon legendaris Pak Pangat,” kenang Dosen Bahasa Arab UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut.

Kini situasi sudah banyak berubah. Kawasan Jarak-Dolly menjelma menjadi salah satu kawasan terpadat di Surabaya. Nyaris tak ada tempat kosong untuk dikembangkan. Termasuk kawasan di dekat Masjid Baitul Hidayah itu.

Salah satu pendiri Pesantren JeHa,Kiai M Rofi’uddin saat menceritakan perjalanan syiar Islam di Dolly.  (eko disway)

Harian Disway mendatangi masjid dua lantai yang dipenuni dengan ukiran dan kaligrafi Arab. Lokasinya agak masuk ke gang kecil yang sudah sangat padat. Kubahnya yang menjulang tinggi sampai tidak terlihat dari gang lebar. 

Haji Umar mendirikan SMP Darul Ulum berdekatan dengan masjid. Sementara SD Darul Ulum yang didirikan lebih awal berjarak 50 meter dari SMP tersebut. Semuanya dibangun pada 1960-1970-an.

Ia punya sekolahan, tapi anak-anaknya tidak belajar di sana. Haji Umar sadar bahwa anak-anaknya akan meneruskan perjuangan dakwahnya. 

Mereka harus punya bekal lebih banyak untuk melanjutkan perjuangan di lokalisasi. Tak cukup hanya bersekolah di Surabaya. “Bersaudara enam orang, semua diungsikan ke Gontor. Saya angkatan 97 kalau Kiai Nu’man 87,” ujar Rofik, alumnus Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember itu. 

Entah disengaja atau tidak, Haji Umar mengirim semua anaknya ke Gontor. Ponpes yang banyak mencetak tokoh besar itu punya sejarah panjang yang mirip dengan pesantren JeHa.

Gontor adalah singkatan dari Nggon Kotor (Tempat Kotor). Kawasan hutan itu adalah tempat persembunyian perampok, penjahat, penyamun, pemabuk, penjudi. Pelacuran dan segala kemaksiatan ada di sana.

Keadaan desa di sekitar Gontor kala itu juga sangat mundur. Kegiatan keagamaan mati. Situasinya sama seperti kawasan Kupang Gunung dan sekitarnya pada tahun 1960-an.

Haji Umar yang berhijrah dari Leran, Gresik ,mendapati tempat tinggal barunya di Surabaya begitu “gelap”. Sangat jauh dibandingkan Kota Santri Gresik yang jadi gudang pencerah agama. 

Ma Lima: madon, mendem, maling, main, dan madat (Main perempuan, mabuk, maling, judi, dan candu) yang ada di Gontor kini dijumpai juga di tempat tinggalnya.  Bahkan yang ini kalibernya lebih dahsyat.

Sampai tersohor bahwa Dolly adalah lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Bahkan, empat kali lebih besar dari lokalisasi Patpong di Bangkok, Thailand.

Sepulang dari Gontor, anak-anak Haji Umar tak langsung kembali ke Surabaya. Mereka melanjutkan ke universitas. Tiga dari enam anaknya akhirnya menjadi doktor.

Kiai Nu’man salah satunya. Ia dikirim ke Jakarta untuk kuliah di UIN Syarif Hidayatullah. Begitu kembali di Surabaya ia mengajar di UIN Sunan Ampel Surabaya.

Sampai suatu saat, Bani Umar berkumpul. Mereka merasa kemaksiatan di Dolly semakin meresahkan. Mereka perlu berbuat lebih banyak untuk Dolly. Masjid dan sekolah Islam yang dirintis sang abah masih belum kuat untuk melawan kemaksiatan.

Nabilah Ramadhani (kiri) bersama Reva Fadila (kanan) saat mengaji bersama. (eko disway )

Saat itulah muncul gagasan membuat pesantren JeHa pada 2008. “Bapak nggak kuliah saja bisa berbuat banyak. Masak anak-anaknya yang disekolahkan sampai doktor diam saja?” ujar Kiai Nu’man. 

Gedung JeHa yang pertama ada di Putat Jaya IV B yang punya puluhan rumah karaoke dan tempat pelacuran. Meski sudah resmi ditutup pada 2014, Mo Limo masih ada di sana. Kini para pengurus terus berjuang agar JeHa bisa jadi The Next Gontor versi Surabaya. (*)

Doan Widhiandono

Recent Posts

{{ keyword }}

{{ text }} {{ links }}

4 bulan ago

{{ keyword }}

{{ text }} {{ links }}

4 bulan ago

{{ keyword }}

{{ text }} {{ links }}

4 bulan ago

Real Count Sirekap Dihentikan, Sudirman Said Menilai Pemilu 2024 Bermasalah

AMEG.ID, Indonesia - Co Kapten Timnas Pemenang Anies-Muhaimin Sudirman Said menyebut penghentian tayangan real count…

6 bulan ago

Aksi Massa Dukung Proses Hukum Soal Dugaan Korupsi Ganjar Pranowo

AMEG.ID, Indonesia - Massa yang merupakan aliansi masyarakat Jawa Tengah menggelar aksi di depan kantor…

6 bulan ago

Dindik Jatim Bekali Ratusan Guru untuk Hadapi Era Digital

AMEG.ID, Jawa Timur - Dinas Pendidikan Jawa Timur membekali ratusan guru untuk siap menghadapi tantangan…

6 bulan ago

This website uses cookies.