Nasional

Analisis Tragedi Kanjuruhan Banding di Peru

Tragedi Kanjuruhan, duka nasional. Menko Polhukam, Mahfud MD memutuskan dua hal. Pertama, membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta. Kedua, harus dicari tersangkanya.

***

ITU disampaikan Prof Mahfud di jumpa pers daring di kanal YouTube Kemenko Polhukam RI, Senin, 3 Oktober 2022. Dijelaskan:

Baca Juga

Hasil kerja Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) akan disampaikan langsung kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). TGIPF juga menilai kebijakan keolahragaan nasional, khususnya sepakbola secara menyeluruh.

TGIPF akan merekomendasikan kepada Polri, menindak pihak di luar lapangan yang diduga terlibat tragedi. Bahkan bisa saja melibatkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) jika seandainya ditemukan unsur yang terkait korupsi.

TGIPFjuga mengusut dugaan keterlibatan anggota atau pejabat Polri. Yakni, menegakkan disiplin kepada pejabat Polri terkait tragedi.

Mahfud: “Penegakan disiplin kepada pejabat struktural Polri di daerah terjadinya peristiwa.”

Dilanjut: “Polri juga diminta melakukan evaluasi terhadap semua jabatan di Provinsi Jawa Timur. Itu tadi keputusannya.”

TGIPF harus bekerja cepat. “Hasilnya paling lama dalam sebulan (sejak diumumkan ini). Yang hasilnya langsung diserahkan kepada Bapak Presiden Joko Widodo,” katanya.

Sampai di sini, pemerintah Indonesia, melalui Mahfud, sudah memberi sinyal kepada penegak hukum, bahwa ada yang salah dalam tragedi yang menewaskan 125 orang, itu.

Menko PMK, Muhajir Effendy, mengatakan, korban total Tragedi Kanjuruhan 448 orang. Rinciannya, 302 orang luka ringan, 21 luka berat dan 125 meninggal dunia.

Pemerintah sepertinya sudah mendapat laporan awal, bahwa tembakan gas airmata berperan memicu terjadinya Tragedi Kanjuruhan. Selain beberapa unsur lain.

Pintu Stadion Terkunci

Media Officer Arema FC, Sudarmaji, di konferensi pers di Kantor Arema FC, Kota Malang, Senin, 3 Oktober 2022., menjelaskan:

Kabar bahwa pintu stadion terkunci ketika ledakan kenaikan massa akibat tembakan gas airmata, kini sedang diselidiki polisi. Pintu terkunci menyebabkan puluhan ribu orang (jumlah penonton sekitar 46.000) berdesakan dalam waktu sangat cepat, lalu terhambat di pintu terkunci. Akibatnya, ratusan orang mati terinjak-injak.

Sudarmaji: “Itu bagian dari proses investigasi. Jadi ditunggu aja, apakah benar-benar pintu ditutup atau dibuka. Karena itu kita menghormati dan menghargai investigasi yang sedang berjalan.”

Saksi hidup, Theo Bhelva Dwinanda Putra (24) suporter Arema asal Jember, Jatim, menceritakan kepada pers, Senin, 3 Oktober 2022, menceritakan:

Theo warga Desa Sidomulyo, Kecamatan Silo, Jember. Dia bersama seorang teman, menuju ke Malang, Kamis, 29 September 2022. Niatnya nonton konser musik artis Mahalini.

Theo: “Saya tahu ada Arema bertanding lawan Persebaya, saat melihat medsos. Sebagai Aremania juga, saya ingin menonton.”

Ia berniat beli tiket VIP, tapi habis. Akhirnya beli tiket VVIP. “Saya pilih VIP, sebab saya pikir mungkin ada kerusuhan. Karena, Arema musuh bebuyutan Persebaya,” katanya.

Dilanjut: “Pertandingan berjalan lancar dan aman. Arema kalah 2 – 3 sampai pertandingan berakhir.”

Saat itulah ia melihat, ada sejumlah suporter masuk lapangan. Jumlahnya makin lama makin banyak.

Theo: “Sepertinya mereka ingin menyampaikan ke manajemen, kenapa permainan Arema kurang bagus. Setelah itu satu persatu sejumlah penonton berusaha menuju tengah lapangan. Tapi gak sampai ricuh.”

Dilanjut: “Terus, polisi atau TNI ikut masuk ke lapangan. Membubarkan penonton yang masuk ke lapangan. Terus saya lihat ricuh. Antara penonton di lapangan dengan aparat.”

“Tidak lama setelah itu, ada tembakan gas airmata yang dilakukan aparat ke arah tribun. Nah, pemicunya apa juga saya tidak tahu.”

Dilanjut: “Yang saya lihat, tembakan gas airmata itu ke arah tribun. Kalau tidak salah gate 2, 3, 4. Kemudian gate di bawah skor. Juga di gate 13, dan 14. Situasinya saat itu semburat (kocar-kacir) para penonton. Apalagi asap dari gas airmata itu semakin banyak (mengepul). Posisi saya di VVIP, jadi gas air mata itu tidak ditembakkan di arah tempat saya. Apalagi ada tamu undangan.”

Tapi, beberapa tembakan gas airmata kemudian membuat mata Theo pedih. Ia dan teman, buru-buru keluar.

Akhirnya: “Alhamdulillah saya bisa keluar, karena kondisi penonton tidak terlalu crowded di tribun VVIP. Saya meninggalkan stadion dengan selamat. Saya baru tahu dari berita, bahwa banyak korban tewas.”

Horor di Tribun 12

Saksi hidup lain, Muhammad Reko Septiyan (19) asal Manyar, Gresik. Tulang kaki kiri patah terinjak-injak di Tribun 12. Ia dirawat di RS di Malang.

Faisol, ayah Muhammad Reko menceritakan kepada pers, Senin, 3 Oktober 2022. Usai pertandingan, Faisol mendapat kabar putranya mengalami luka di kaki sebelah kiri akibat terinjak-injak penonton.

Faisol mengatakan, anaknya, Reko menonton bersama teman-temannya di Tribun 12.

Faisol: “Menurut cerita teman-teman anak saya, saat kerusuhan terjadi polisi menembakkan beberapa kali gas air mata. Salah satunya ke tribun 12, tempat anak saya menonton pertandingan.”

Maka, semua penonton di Tribun 12, lari menuju pintu keluar. Karena, mereka sesak napas akibat tembakan gas airmata.

Dilanjut: “Ternyata pintu keluar Tribun 12 terkunci. Semua penonton yang lari, menuju pintu yang tertutup. Bertumpuk-tumpuk. Karena mereka yang di belakang, tidak tahu bahwa pintunya terkunci. Akibatnya parah. Banyak yang mati di situ.”

Dibanding Tragedi Peru

Kejadian ini, persis dengan kejadian di lapangan Estadio Nacional, Kota Lima, Peru, 24 Mei 1964 (58 tahun silam). Dalam laga kualifikasi olimpiade, antara Peru melawan Argentina.

Dikutip dari BBC, 23 Mei 2014 dalam peringatan 50 tahun Tragedi Peru, bertajuk: “Lima 1964: The world’s worst stadium disaster”, dikisahkan demikian:

Narasumber, Hector Chumpitaz, legenda bola dari Peru yang pada saat Tragedi Peru, ia pemain muda Peru yang ikut di laga melawan Argentina.

Waktu itu, Peru berada di urutan kedua kualifikasi Olimpiade Amerika Selatan. Peru hanya perlu kedudukan imbang melawan Argentina, untuk masuk olimpiade.

Dikisahkan, pertandingan Peru versus Argentina berlangsung ketat. Sampai babak ke dua, Peru kalah 0 – 1. Peru, selaku tuan rumah, berusaha membobol gawang Argentina, tapi sangat sulit.

Penonton (sekitar 55.000) terus bersorak, mendorong agar Peru menyamakan kedudukan. Peru selalu mendesak, tapi pemain belakang Argentina sangat kuat. Serangan Peru selalu dipatahkan.

Pada sekitar enam menit jelang laga berakhir, terjadilah ini:

Hector Chumpita: “Pemain kami, Kilo Lobaton, mendapat umpan. Ia lalu mengangkat kakinya (mencungkil bola) untuk memblokir bola. Hasilnya, bola memantul belok, ke arah gawang. Dan, gol….”

Puluhan ribu penonton bersorak membahana. Girang luar biasa.

Tapi, wasit meniup peluit, kencang. Menyatakan, bahwa Kilo Lobaton melakukan pelanggaran. Gol dinyatakan tidak sah. Artinya, itu bukan gol.

Sejenak penonton terdiam. Tercengang. Mungkin terkejut. Atau, menunggu, apa maksud wasit?

Ternyata memang benar, bahwa wasit menganulir gol tersebut. Puluhan ribu penonton sangat kecewa. Pekik kecewa.

Hector Chumpita: “Kami lihat, ada satu penonton lari masuk lapangan. Kemudian kami ketahui namanya: Bomba. Lantas ada satu penonton lagi menyusul masuk lapangan. Kemudian kami ketahui namanya: Edilberto Cuenca. Mereka mendekati wasit, lalu protes keras.”

Pada saat yang sama, sejumlah polisi lari masuk lapangan. Mereka mengejar dua penonton yang sudah telanjur masuk lapangan.

Penonton Bomba memukul wasit. Dalam sekejap, belasan polisi menyeret Bomba dan penonton Edilberto Cuenca, keluar lapangan. Kelihatan jelas, polisi memukuli dua penonton itu. Secara brutal.

Hector Chumpita: “Akibatnya fatal. Ratusan penonton meloncat, turun ke lapangan. Seketika itu juga kami, para pemain diamankan polisi. Kami selamat. Tapi ratusan orang mati di peristiwa itu.”

Menurut laporan resmi, korban tewas 328 orang. Tapi, kemudian diketahui lebih dari 360 korban tewas. Sebab, korban tewas yang ditembak polisi dengan peluru tajam, mayatnya hilang diambil polisi.

Penonton bernama Jose Salas, suproter fanatik Peru, menceritakan: “Ketika ratusan, mungkin ribuan, orang masuk lapangan, polisi panik. Mereka menembakkan gas airmata bertubi-tubi. Lalu, massa berubah menyerang polisi. Saya dengar, ada letusan tembakan yang bukan gas airmata.”

Jose Salas bersama ribuan orang, lari dari tribun, turun menuju pintu keluar (Gate 12). “Saya bukan yang paling depan, tapi di tengah-tengah. Ternyata pintu terkunci. Sehingga, orang yang berada di depan tergencet di pintu oleh desakan massa dari belakang,” ceritanya.

Dalam kondisi mentok, kemudian massa berbalik. Lari, kembali menaiki tangga ke arah tribun lagi. Meskipun di dalam ramai tembakan peluru tajam dan gas airmata.

Jose Salas: “Dalam kondisi gelap oleh asap, ternyata kami bertabrakan dengan massa yang lari dari arah tribun, turun menuju pintu keluar Gate 12. Tabrakan hebat. Di situ banyak yang mati terinjak-injak.”

Jose Salas berada di tumpukan orang. Beberapa hidup. Beberapa,yang paling bawah, mati. Jose terinjak-injak juga. Ia pingsan. Tahu-tahu, ia sudah berada di rumah sakit. Beberapa tulangnya patah.

Beruntung, Jose masih hidup. Sampai dengan ia diwawancarai wartawan BBC, Piers Edwards yang menulis berita ini, pada 50 tahun kemudian (23 Mei 2014).

Kejadian itu menimbulkan kontroversi puluhan tahun di Peru. Sebab, polisi selain menembakkan gas airmata, juga menembak peluru tajam. Akibat tragedi itu, puluhan polisi diadili, dan dihukum.

Tragedi Kanjuruhan, kini mulai diusut TGIPF. Media massa asing memuat tragedi ini sebagai tragedi bola dengan jumlah korban terbesar ke dua, setelah Tragedi Peru.

Indonesia berduka. Semoga ini jadi pelajaran penting bagi kita semua. (*)


Editor : Irawan
Publisher : Ameg.id
Sumber : Ameg.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button