Regional

Chitomask, Masker Anti-virus dari Limbah Kulit Udang

AMEG – Lima mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) berinovasi  masker kain filter anti-bakteri dan anti-virus, chitomask. Masker  ini ramah lingkungan karena diolah dari limbah kulit udang.

Berkat inovasi ini,  l ima mahasiswa tersebut lolos dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan (PKM-K) dan mendapatkan pendanaan dari Dirjen Dikti Kemendikbud-Ristek RI pada 2021.

Lima mahasiswa itu adalah Reza Istiqomatul Hidayah mahasiswa Fak Perikanan dan Kelautan (FPK 2017), Muhammad Rizky Widodo dan Salsabila Farah Rafidah (Fak Kesehatan Masyarakat-FKM 2018). Ardelia Bertha Prastika mahasiswa Fak Kedokteran (FK 2019) dan Firman Hidayat mahasiswa Fak Sains dan Teknologi (FST 2019).

Baca Juga

Sebelum mendapat pendanaan, mereka berlima kerap menjuarai ajang kompetisi dan pernah meraih medali silver pada skala internasional. 

Dilansir dari laman Instagram Chitomask, varian Covid-19 lebih menular sehingga diperlukan proteksi lebih. Dalam hal ini, Chitomask bisa memberikan proteksi tambahan dengan filternya yang memiliki kemampuan antivirus dan antibakteri. 

Komposisi bahannya yang biodegradable atau mudah terurai secara alami, sehingga bisa meminimalkan limbah masker saat pandemi. Tentunya dengan model yang trendy.

Ardelia Bertha Prastika selaku CEO mengatakan,  produknya bisa terurai dalam kurun waktu yang pendek. “Chitomask ini tidak merusak lingkungan, untuk terurainya pun paling lama satu bulan,” ucapnya.

Dalam prosesnya, Ardelia mengaku tahap pra-produksi dan produksi membutuhkan waktu lima hari.  “Sebelum PKM kami didanai, kami sudah meneliti kain apa yang compatible untuk filter. Jadi prosesnya kitosan (limbah kulit udang-red) dibuat gel terlebih dahulu hingga menunjukkan warna bening dan konsentratnya mengental,” kata Ardelia seperti termuat di Pers Rilis Humas Unair, Senin (26/7/2021).

Jika dihitung dari tahapan pembuatan gel hingga coating butuh waktu tiga hari. Sedangkan produksi filter memakan waktu dua hari. “Hari pertama pelarutan kitosan dan hari kedua pengovenan,” imbuh Ardel.

Lebih lanjut, tim Chitomask menyebut beberapa keunggulan kitosan, antara lain senyawanya tidak beracun, tidak mengandung protein pemicu alergi, sebagai bahan alami yang biokompatibilitas, bioaktivitas dan keamanan biologis yang tinggi.

Tim juga turut mendukung beberapa ketercapaian SDGs, salah satunya SDGs ke-14 mengenai life below water yang mencegah segala bentuk polusi kelautan.

Menurut CEO Chitomask #LindungiKamudanBumimu, dampak kesehatan dan lingkungan harus secara simultan ditangani bersama, artinya tidak dianggap satu lebih penting daripada yang lain.

“Semoga ke depan, masyarakat bisa bijak dalam bersikap, meskipun dalam fase yang menghantam seperti pandemi. Harus diingat kita hidup berdampingan dengan lingkungan. Pandemi bisa saja selesai, tetapi jangan sampai lingkungan menimbulkan persoalan baru,” kata Ardelia. (*) 


Editor : Sugeng Irawan
Publisher : Rizal Prayoga
Sumber : -

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button