Nasional

Intimidasi Sihir dan Perempuan pun Mental

Menjaga Lentera Dakwah Pesantren JeHa Jarak Dolly (4)

Pesantren Jauharotul Hikmah (JeHa) di Jarak-Dolly ada oase di tengah padang pasir. Tapi bagi mucikari, pekerja seks komersial (PSK), preman, dan para calo, JeHa adalah air yang mengancam kompor penghasilan mereka

***

PESANTREN JeHa selalu ditakdirkan dapat tempat di dekat gapura tanpa sengaja. Pendiri JeHa Kiai Nu’man membeli eks wisma yang jaraknya hanya 10 meter dari gapura Putat Jaya IV B. Mereka juga mengontrak rumah kelima dari gapura Gang Dolly. Dua tempat itu adalah poros utama prostitusi di Surabaya.

Baca Juga

“Posisi kami ini ancaman bagi mereka,” ujar adik Kiai Nu’man yang ikut mendirikan JeHa: M. Rofi’uddin, Jumat (30/4). Pengunjung lokalisasi harus melewati pesantren sebelum mabuk-mabukan dan berbuat mesum. Ibarat sungai, Jeha adalah bendungannya.

Mereka yang tahu diri pasti malu. Putar balik. Batal maksiat. Ada santri-santri cilik yang mengaji di sana. Berseliweran pakai busana muslim. 

Inilah yang dianggap sebagai ancaman dari pemilik usaha karaoke dan mucikari. Pengurus mendapat intimidasi agar ponpes dipindahkan di tempat lain. “Gimana caranya, pokoknya jangan di gang ini,” ujar Rofik saat ditemui di lokasi pembangunan Masjid JeHa di Putat Jaya IV B.

Material bangunan di bagian atap Pesantren JeHa Putat Jaya Gang 4 B yang dalam proses pembangunan.

Masjid yang masih dalam proses pembangunan itu jadi wujud perjuangan panjang JeHa yang dulu hanya menempati satu eks lokalisasi. Kini, mereka mampu membangun masjid di tengah gang. 

Kiai Nu’man beserta keluarga harus melewati jalan berliku di awal masa perjuangan. Inilah risiko membangun pondok pesantren pertama di poros kemaksiatan. Intimidasi pertama bukan dalam bentuk fisik. Tapi metafisika. “Hampir tiap hari dapat ’paketan,’,” ujar dosen UIN Sunan Ampel itu.

Yang dimaksud Nu’man adalah sihir. Serangan tak kasat mata itu jauh lebih berbahaya. Tidak bisa kena pidana dan minim risiko. Jika mereka menyerang secara fisik ke pesantren, maka perang bisa pecah. Bukan cuma dunia santri yang marah, semua umat beragama pasti akan mengutuk perbuatan itu. Eksistensi Dolly bisa terancam.

Ketika ’’kiriman’’ itu datang, terdengar suara ledakan. Tidak sekali dua kali. Tapi sering. Nu’man sabar. Tidak takut dan tidak membalas. Pak Kiai tahu yang menjaga diri dan keluarganya adalah Sang Khalik. Sihir itu tak ada apa-apanya.

Kisah serupa juga pernah dialami para pejabat pemkot hingga Wali Kota Tri Rismaharini yang berupaya menutup Dolly pada 2014. Risma beberapa kali menceritakan bahwa rumahnya tampak seperti terbakar.  

Di hari-hari menjelang penutupan, banyak ular di depan rumah Risma. Sejumlah kepala dinas juga jatuh sakit. Mental juga diserang. Aktivis proprostitusi mengarak kerbau putih keliling kampung. Di leher kerbau itu terdapat kertas bertulisan Tumbale Njarak-Dolly; Soekarwo (Gubernur Jatim), Risma dan Soepomo (Kadinsos Surabaya).

Dengan para petinggi saja mereka berani, apalagi dengan Pesantren JeHa yang hanya punya 30 santri kala itu (2008). Namun, intimidasi bisa diatasi para pengurus. Pesantren jalan terus.

Aktifitas anak-anak yang mengaji di eks wisma lokalisasi Puteri Lestari Dolly.

Pemilik usaha karaoke dan mucikari tak kehilangan cara. Godaan terberat seorang laki-laki adalah perempuan. Setiap ustaz, pasti ada yang menggoda. “Yang lewat di situ. Kalau cowok, minimal disiulin,” kata Rofik sembari meringis.

Tak hanya ustaz, tamu-tamu dari luar daerah juga digoda. Pada 2008 lokalisasi Jarak-Dolly dalam masa jayanya. Isu penutupan belum berhembus. Kemaksiatan dianggap lumrah. Santri dianggap kuper. Ndeso…!!

Saat aktif di KMI (Kulliyatul Mu’allimin/Mu’allimat al-Islamiyah) Pondok Modern Darussalam Gontor, sejumlah teman dan kakak kelas dari luar Jawa tidak bisa pulang ke rumah. Tiket pulang pergi mahal. 

Mereka memutuskan bersilaturahmi ke Dolly karena penasaran dengan lingkungan tempat tinggal Rofik di Dolly yang dijuluki lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. “Saking ingin tahunya, mereka gonta-ganti ke rumah saya. Kalau lewat, mereka juga digoda,” kata alumnus Gontor 1997 itu.

Iman mereka sudah tebal. Tak akan tergoda. 

“Tapi kan, yang menolak pesantren itu kan bukan warga sini,” sahut Kiai Nu’man memotong pembicaraan kami. Menurutnya, mayoritas pelaku “bisnis kelamin” berasal dari luar Surabaya. Mereka cuma numpang di Dolly, jadi pengontrak.

Jadi yang mengintimidasi dan menggoda pengurus JeHa bukan orang Jarak-Dolly. Pendatang sering kali membawa nama penduduk asli Dolly untuk mempertahankan prostitusi. 

Sebab, perputaran uang begitu besar. Secara tidak langsung warga ikut meraup untung dari usaha parkir, warung, dan laundry. 

Namun, Nu’man yakin jika disurvei, masyarakat yang ber-KTP Jarak-Dolly lebih suka situasi yang sekarang. Meski duit tak lagi mudah didapat, namun kehidupan bisa lebih tenang. 

Perlahan nama Jarak-Dolly bersih dengan sendirinya. Tak ada lagi embel-embel yang melekat bahwa penduduk Dolly pasti bejat. 

Kini mulai banyak yang berubah. Bahkan sejumlah anak PSK dititipkan di JeHa. Ibu mereka masih punya nurani. Tak mau anaknya terjerembap di lubang hitam yang sama.

Mereka ingin generasi penerusnya jadi jauharo:  batu permata. Meski letaknya di kubangan, permata tetaplah permata. (*)


Editor :
Publisher :
Sumber :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button