Hot NewsNasional

Media Online Kerap Langgar Kode Etik, Ini Alasannya…

AMEG – Berdasar data Dewan Pers, dari 800 surat pengaduan yang masuk pada 2020, sebagian besar berisi ketidaktaatan media pada kode etik jurnalistik, terutama online.

Pernyataan itu disampaikan Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers, Arif Zulkifli, dalam artikelnya di Buletin Etika Dewan Pers, Desember 2020.

Dari jumlah itu, yang kerap digugat adalah berita yang tidak diverifikasi, judul yang menghakimi, dan penggunaan sumber tunggal.

Baca Juga

“Yang pasti, media yang melakukan kesalahan berulang-ulang, dengan mudah dianggap memiliki niat buruk (malice) yang menjadikan kredibilitasnya layak dipertanyakan,” kata dia, seperti dikutip dari TOR diskusi Dewan Pers bertajuk “UU Pers dan Fenomena Jurnalisme di Media Sosial”, Kamis (15/4/21).

Yang menarik, media arus utama atau mainstream, terkadang juga kedapatan melanggar kode etik jurnalistik.

Menurut Arief Zulkifli, pelanggarannya tak lepas dari model bisnis media online yang mendasarkan pemasukan pada iklan yang dating, seiring banyaknya pengunjung.

Upaya mengundang kerumunan itu, sambungnya, menggoda wartawan untuk menulis berita sensasional. Sayangnya, berita yang ditulis cenderung asal cepat, tapi dangkal.

Pemeringkatan media berdasarkan jumlah pengunjung juga membuat situs berita berlomba-lomba memproduksi berita sesuai algoritma mesin pencari.

Dia juga menjelaskan, pers menggunakan media sosial sebagai tambang informasi awal newsmakers dan alat untuk mempopulerkan karya jurnalistik berupa artikel, foto dan video di kalangan netizen.

“Tapi senjata makan tuan. Pada kasus-kasus di mana karya jurnalistik tidak menyenangkan hati netizen, mereka berbalik meretasnya, bahkan melakukan doxing dan ad hominem terhadap jurnalisnya,” kata dia lagi.

Doxing atau penggalian jejak digital pribadi dilakukan untuk melemahkan rasa percaya diri wartawan. Doxing tak berdiri sendiri, tapi dijalankan bersamaan dengan ad hominem, yaitu perbuatan memaksakan hubungan dari dua hal yang sebetulnya tak berhubungan.

“Jika dalam doxing ditemukan fakta bahwa wartawan ketika sekolah pernah tak naik kelas, maka para pendengung akan mengatakan kualitas liputan si wartawan buruk, karena pernah tinggal kelas. Difabrikasi oleh ribuan pengikut, entah robot atau orang sungguhan, ad hominem itu dipercaya atau dipersepsikan layak dipercaya,” tegasnya.(ar)


Editor :
Publisher :
Sumber :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button