Film

Polisi Kulit Putih Memang Hopeless…

Two Distant Strangers (2020)

Seratus kali Carter James bertemu polisi kulit putih. Dan seratus kali pula desainer grafis berkaca mata itu dibunuh. Tak peduli apa pun yang dia lakukan—dan tidak dia lakukan. Two Distant Strangers dengan detail dan cerdas menggambarkan ketakutan konstan yang dirasakan warga kulit hitam di AS. 

***

CARTER JAMES terbangun. Di ranjang seorang gadis cantik. Si gadis juga bangun, dan mereka sempat bercanda ringan. Tampaknya mereka menghabiskan malam bersama setelah bertemu di kelab. Perri, gadis cantik itu, mengajak sarapan. Carter menolak. Ia ingin pulang. Memberi makan anjingnya.  

Baca Juga

Keduanya lantas duduk di kursi ruang tamu apartemen. Carter (diperankan Joey Bada$$) menunjukkan foto Jeter—si anjing kesayangan—kepada Perri. Perri menyebutnya cute. Dia lalu beranjak ke dapur. Dalam perjalanan ke sana, ujung gaun tidur Perri menyenggol botol, yang jatuh dan pecah. ’’Don’t worry about it,’’ kata Perri. Carter meninggalkan rumah.    

Ia lalu berdiri santai di luar pintu gedung apartemen, menyulut rokok. Baru satu hisapan, ia berbalik. Gerakannya menyenggol pria kulit putih yang sedang berjalan tergesa. Kopi pria itu tumpah membasahi polo shirt barunya. Si pria mengomel, dan Carter berkali-kali meneriakkan maaf. Ia tak sadar, segulung uang tunai hasil pembayaran klien—ia adalah seorang desainer grafis—menggelinding ke trotoar.

Teriakan pria yang terkena kopi tadi memancing Merk (Andrew Howard), seorang opsir polisi, untuk mendekatinya. Pertanyaan ’’Ribut-ribut apa ini?’’ kemudian merembet ke bau rokok Carter. Lalu ke uang tunai di sudut kakinya. Lalu ke tasnya. Ketika Carter menolak menyerahkan tas untuk digeledah, Merk memanggil bala bantuan. 

Dalam sekejap, tiga polisi putih berupaya melumpuhkan Carter. Dua memegang tangannya, sementara lutut Merck menindih punggungnya. Lengannya melingkar ke leher. Dan betapapun Carter merintih, ’’I can’t breathe, I can’t breathe!’’ si polisi bergeming. Teriakan seorang ibu penjaga kios koran di trotoar juga tak digubris. Carter mati kehabisan nafas. 

Persis seperti George Floyd. Pria kulit hitam di Minneapolis, yang mati setelah lehernya ditindih lutut polisi Derek Chauvin. Yang tidak secara kebetulan berkulit putih… 

*** 

Carter James terbangun. Di ranjang seorang gadis cantik. Si gadis menyusul bangun. Dia bertanya apa yang terjadi.

’’Aku baru saja mengalami mimpi yang paling mengerikan dan sangat realistis. Aku dibunuh oleh polisi,’’ ia bercerita. Keduanya lalu duduk di ruang tamu apartemen. Carter menunjukkan foto anjingnya. Dan betapa ngerinya ia. Ketika ujung gaun tidur Perri menyenggol botol kaca dan pecah. ’’Don’t worry about it,’’ kata si cewek.

Di luar apartemen, Carter lebih berhati-hati. Ia memasukkan uang cash ke saku celana. Ia berhasil menghindari pria pembawa kopi yang berjalan ngebut. Carter bilang maaf. Dan si pria berteriak, ’’Hei, nggak apa-apa kok!’’ Merk mendengar ribut-ribut itu. Ia tetap mencurigai Carter, dan akhirnya menembaknya. 

Carter James terbangun. Di ranjang seorang gadis cantik. Si gadis menyusul bangun. Kali ini, ia ingin mengubah cerita. Alih-alih keluar apartemen, ia mengajak Perri memasak sarapan di rumah. Eh, tiba-tiba pintu digedor. Sekompi polisi NYPD menyerbu masuk. Menembak mati Carter. Rupanya, mereka salah alamat… 

Carter James terbangun. Di ranjang seorang gadis cantik. Ia marah-marah. Diceritakannya déjà vu yang sudah terulang tiga kali itu. Perri mengusulkan untuk berbicara langsung dengan Merk, sebelum si polisi menyerangnya. Carter menjalankan saran Perri. Berhasil. Merk membiarkan ia pergi. Tapi ketika berbelok ke gang, ada tiga polisi yang mengejar dua pencopet. Carter disangka kaki tangan mereka. Ia ditembak. 

Carter James terbangun. Di ranjang seorang gadis cantik. Dan kejadian itu terulang 99 kali! Tak peduli skenario apa pun yang ia jalankan untuk menghindari konfrontasi dengan Merk. Ia selalu berakhir mati. Hingga di puncak frustrasinya, Carter memberanikan diri mengambil langkah ekstrem. Ia berbicara baik-baik lagi dengan Merk. Minta polisi gundul itu mengantarnya pulang. 

Mereka kemudian berkendara dengan santai. Carter menanyai Merk soal keluarga, zodiak, karir, dan apa saja. Sampai tertawa-tawa. Akrab sekali. Sepertinya, segala kecurigaan dan kebencian yang dipicu oleh perbedaan ras menguap begitu saja. Mereka tiba di rumah Carter. Dan sebuah tindakan Merk tiba-tiba membuat segala upaya Carter menjadi sia-sia. Hopeless…

Curhat Sutradara

Two Distant Strangers memenangkan piala Oscar kategori Film Live Action Pendek Terbaik dalam Academy Awards 2021 Senin lalu (26/1). Sang penulis dan sutradara, Travor Free (yang menggarap film itu dengan Martin Desmond Roe), mencatat sejarah sebagai sineas kulit hitam pertama yang memenangkan kategori tersebut. 

Kemenangan itu sangat layak. Film berdurasi tak lebih dari setengah jam itu dengan jenius menggambarkan ketakutan konstan warga kulit hitam di AS. Mereka selalu menghadapi ancaman dibunuh oleh polisi. Hanya karena berkulit hitam.

Sepanjang tahun lalu, tak terhitung berapa nyawa warga Afrika-Amerika melayang di tangan penegak hukum.

Puncaknya adalah George Floyd. Yang memicu gerakan nasional Black Lives Matter. 

Dari sudut pandang Carter—yang mewakili pikiran Travon Free—orang kulit hitam akan selalu salah di mata polisi kulit putih. Nyawa mereka selalu terancam, sekalipun mereka orang baik-baik. Hidup dengan baik-baik pula. Dan seperti kata Free di pidato penerimaan Oscar, kekayaan maupun popularitas tak akan menyelamatkan mereka dari nasib itu.  

Carter digambarkan makmur. Celana dalamnya Calvin Klein. Earphone-nya dari merek terkenal. Tapi malah dicurigai sebagai penjual narkoba. Serumit itu ternyata hidup menjadi kulit hitam di AS. Perri (diperankan Zaria Simone), bahkan secara blak-blakan bilang, ’’Aku cewek kulit hitam yang tinggal di AS. Tentu aku butuh pistol.’’ 

Saking gamblangnya film ini, memang berpotensi makin mempertajam konflik rasial yang sudah ada. Tapi harus diakui, Two Distant Strangers menjadi semacam wake up call. Terutama buat moviegoer di luar AS. Bahwa kebencian berdasarkan ras sudah sangat mengerikan. Tidak hanya di AS. Tapi juga di seluruh dunia. 

Kebencian tidak hanya mengarah kepada orang kulit hitam. Tapi juga ras minoritas yang lain. Bahkan kita—secara tidak disadari—sering memberikan label dan prejudice ke kelompok-kelompok suku yang berbeda. Dan itu harus diakhiri. (*)


Editor :
Publisher :
Sumber :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button