EkonomiKota BatuPemerintahanPolitikSahabat ER

Politik Ndeso

AMEG.ID – KETIKA berangkat untuk mencoblos pada Pemilihan Kepala Daerah tahun 2007, bagi masyarakat yang mayoritas adalah para petani yang biasa disebut Wong nDeso, amat sederhana. Meskipun pada waktu itu, pertama kalinya diterapkan pemilihan langsung, coblos langsung bukan melalui DPRD.

Pada waktu itu telah ditetapkan 4 pasangan calon kepala daerah oleh penyelenggara pemilu yaitu KPUD. Hampir semua partai tidak dapat mengusung sendiri calonnya sehingga harus berkoalisi, kecuali hanya Banteng Moncong Putih yang dapat mencalonkan sendiri tanpa berkoalisi. Semangat berdemokrasi sangat tinggi,

Baca Juga

Di lembar kertas yang akan dicoblos, foto saya tampil sederhana, cukup dengan mengenakan baju warna putih dengan kopiah hitam, bukan memakai jas lengkap dengan dasinya. Saya tampil apa adanya, sebagaimana wong-wong ndeso lainnya.

Saat kampanye, saya tidak berdiri di atas panggung, karena panggungnya memang tidak ada. Tidak pasang baliho, spanduk, dan tidak bagi-bagi kaos. Bahkan konvoi yang menjadi ciri khas kemeriahan musim kampanye untuk menarik perhatian warga, juga tidak diadakan. Bagi saya, semua itu bukan daya tarik dalam sebuah pesta demokrasi.

Saya ingin membawa pesan bahwa pesta demokrasi itu sederhana, tidak dengan euforia gerojok-gerojokan, apalagi saling memfitnah. Kelangsungan dalam pendidikan politik tidak perlu obral janji, apalagi memecah pemilih dan partai politik, karena semua itu bukan tujuan akhir. Saat berada di pemerintahan dalam mengemban amanah, baju parpol sudah lepas, ego politik kelompok, bahkan urusan keluarga dan sanak saudara, semuanya dipinggirkan.

Kota Wisata Batu yang mayoritas penduduknya petani, minim pengetahuan dan ambisi politik. Tapi jumlah pemilih yang saat itu sangat kecil, ternyata memiliki kesadaran berdemokrasi sangat baik. Embrio demokrasi! Iya, tidak ada money politik, kecurangan, dan tanpa bagi-bagi sembako . Hanya dengan salaman, sowan, jagongan, itulah politik wong ndeso.

Bahkan pemilihan kepala desa, di Kota Wisata Batu terdapat 19 desa, semua berlangsung secara demokratis. Tidak ada jor-joran karena hampir semua yang maju mengikuti pilkades, dan yang kemudian terpilih, secara ekonomi biasa-biasa saja.

Setelah mereka bertugas sebagai kades, dalam menjalankan pemerintahan tidak ada istilah politik anggaran, karena semua dikoordinasikan dengan anggota dewan, dan secara umum terbuka, termasuk terhadap anggaran yang dihasilkan secara mandiri.

Dalam melaksanakan birokrasi pemerintahan pun juga dilakukan dengan sederhana. Misalnya terhadap kekhawatiran akan maraknya peredaran miras (minuman keras), setelah kota berkembang. Para tokoh agama berkumpul bersama dengan para anggota dewan dan pelaku usaha hotel dan restoran. Hasilnya, miras dilarang. Tidak terlalu lama, terbitlah Perda (Peraturan Daerah) yang melarang peredaran miras.

Bila ada investasi hotel misalnya, tempat wisata atau yang lain, cukup berkomunikasi dengan warga setempat, berkumpul jagongan di balai desa. Kalau disetujui ya langsung bisa dibangun. Tetapi kalau warga tidak setuju karena dianggap mengganggu sumber mata air misalnya, maka diambil keputusan untuk ditolak, dan nanti Pemkot juga akan menolak. Ada contoh kasus pembangunan sebuah hotel, yaitu Hotel de Raja, yang saya tolak karena sebelumnya telah ditolak oleh warga, dulu pada periode pertama.

Hubungan saya dengan para pimpinan Parpol di Kota Wisata Batu sangat gayeng, penuh dengan persahabatan, seduluran, dan tidak perlu akrobatik seperti di daerah lain. Mengapa? Karena ibarat sebuah kolam, Kota Batu itu kolam yang kecil, tapi bersih, tidak keruh dan kotor.

Iya, saat ngobrol dengan para ketua Parpol, muncul gagasan bagaimana kalau warga dibebaskan membayar PBB (Pajak Bumi Bangunan), untuk mereka yang memiliki lahan pertanian dan rumah huni, tetapi kondisinya bisa disebut tidak mampu. Bahkan mereka itu diberi insentif tambahan hidup, agar lahan pertanian yang dimiliki tidak dijual lantas berubah fungsi. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh pemerintah dari sektor pajak atau retribusi, bukan sebuah prestasi keberhasilan.

Ah! Politik Ndeso sederhana sekali, tidak perlu membuat kotoran dan membuang kotoran sembarangan. Ditata dengan rasa seduluran, ojo rumongso paling pinter, guyub!

Sahabat ER,
Semarang, 29 September 2023.


Editor :
Publisher :
Sumber :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button