Disway

Siapa Membunuh Putri (22)

Bongkar Makam

MILA meneleponku, minta bertemu. Suaranya sangat memohon. Seperti menahan tangis. Saya sedang di kantor. Saya tahu di mana dia mengontrak kamar kos. Tapi dia menyebut tempat lain untuk bertemu. Masih ada waktu sebelum rapat-rapat redaksi dan rapat gabungan dengan iklan dan pemasaran. Diantar Edo, saya menuju tempatnya.

”Ini rumah sepupu saya,” kata Mila. ”Saya sementara sembunyi di sini. Mau pulang ke kos takut,” kata Mila.

Baca Juga

”Nggak kerja?” tanyaku.

Bukannya menjawab, Mila malah menangis. Setelah reda. Dia lalu bercerita. ”Saya mau berhenti aja, Mas… Kantor sudah nggak enak banget. Mila takut sekarang,” katanya.

Apalagi setelah kejadian malam itu. Orang yang membuat Mila takut adalah Beni, Pemred Metro Kriminal yang menggantikan Bang Eel, setelah saya dan Bang Eel pindah ke Dinamika Kota.

”Kok ada orang brengsek kayak orang itu. Wartawan kok gak bermoral,” kata Mila.

Saya mengenal Mila sebagai gadis yang ramah, tak mudah membenci orang, menyenangkan, tapi tidaklah dia seorang gadis yang gampangan. Di awal-awal waktu saya kerja Metro Kriminal, saya pernah sakit tifus, harus diopname beberapa hari. Mila yang menjaga, paling tidak tiap hari dia menengok. Sampai saya sembuh. Saya kira itu tindak tanggung-jawabnya dan dia anggap tugasnya sebagai sekretaris redaksi.

”Waktu Mas Dur tanya soal iklan, dan saya mau ketemu kemarin itu, saya mau cerita ini, Mas,” kata Mila.

Beberapa kali Mila merasa Beni memperlakukannya dengan kasar. Mengarah ke pelecehan. Puncaknya malam kemarin itu. ”Kami pergi ke karaoke ramai-ramai satu kantor. Teman-teman pulang satu per satu sampai tinggal kami berdua. Saya sudah mau pulang juga. Dia bilang pulang sama dia, dia mau antar saya,” kata Mila. Saat itulah Beni melakukan hal yang melampaui batas. Mila berteriak-teriak sampai sekuriti datang.

”Orang-orang itu lihat Mila kayak Mila ini perempuan yang nggak bener. Bukannya dia yang disalahkan. Itu Mila kesal banget, malu banget,” kata Mila dengan sesak yang seperti mau meledakkan dadanya, dia kembali tak bisa menahan tangis.

”Saya cuma mau cerita, Mas. Saya percaya Mas Abdur. Jangan suruh saya lapor polisi, jangan juga Mas Dur laporkan polisi. Jangan cerita ke siapa-siapa,” kata Mila.

”Kalau kamu nggak lapor, dia nanti akan perlakukan orang lain dengan perbuatan yang sama. Ke kamu juga nanti dia akan mengulanginya lagi,” kataku.

”Makanya saya nggak mau masuk kerja lagi. Saya berhenti saja. Capek, takut, stres tiap hari ketemu dia. Jangan cerita ke Bang Eel juga ya, Mas… Percuma!” kata Mila.

”Begini, deh. Jangan pikirkan soal pekerjaan. Mbak Nana mungkin perlu tambahan staf di sekretariat. Kalau kamu mau, pindah aja,” kataku. Nana adalah sekretaris Dinamika Kota. Mila sudah juga mengenalnya.

Saya sarankan Mila menenangkan diri dulu. Pulang ke Padangbelakang. Ketemu orang tua dan keluarga. ”Kalau nanti sudah tenang. Telepon saya, ya. Saya nanti yang ngomong sama Mbak Nana dan Bang Eel, soal pekerjaan buat kamu itu.”

Saya minta Edo mengantarkan Mila ke pelabuhan penyeberangan di Sekumpang. Edo lalu mengantarku kembali ke kantor, sebelum dia berangkat lagi mengantar Mila.

Tentang pelecehan Beni kepada Mila memang tak saya ceritakan kepada Bang Eel. Tapi saya menyampaikannya kepada Bang Jon. Bukan mengadu, rasanya tak tahan juga menyimpan kemarahan itu sendirian. Andai Mila tak meminta untuk tak melaporkan ke polisi saya pasti sudah membuat laporan.

Kembali dari mengantar Mila, Edo uring-uringan. Rupanya, sepanjang perjalanan Mila bercerita juga padanya. Edo bilang padaku kalau ketemu itu si Beni mau dihajarnya. ”Kamu jangan bikin persoalan jadi makin ribet, Do,” kataku, ”kalau kamu mau bantu, nanti kalau Mila sudah mau dan mulai kerja di sini, kamu jaga dia.” Edo mengiyakan permintaan saya.

Sementara itu tim penyidik baru kasus pembunuhan Putri bergerak cepat. Memang tak banyak ekspose. Untungnya kami selalu dapat bocoran dari Brigadir Hilmi. Kami kirim Nurikmal ke Palembang, ikut saksikan pembongkaran makam Putri, lalu diotopsi di RS polisi di kota itu.

Dari foto-foto dan laporan Nurikmal terbayang makam yang mewah dan kokoh. Seperti makam tokoh besar yang sudah lama mati. Seperti sengaja agar sulit dibongkar. Polisi sampai mengerahkan alat berat. “Ada drama lagi di sini,” kata Nurikmal melapor lewat telepon. Keluarga Putri, terutama sang ibunda menghalang-halangi pembongkaran makam Putri.

Persis sama seperti di sidang-sidang pembacaan dakwaan di Batam yang berakhir dengan putusan sela yang mengarah ke AKBP Pintor itu.

“Terus gimana?”

“Ya, diamankan. Dibawa polisi. Orang-orang yang dikerahkan juga diusir polisi semua.”

“Orang-orang itu siapa?”

“Katanya keluarganya, tapi kayaknya orang suruhan semua.”

“Fotonya dapat, nggak? Kalau tak dapat minta sama fotografer grup kita di sana,” kataku. “Otopsinya kapan?”

“Katanya besok. Saya di sini sampai otopsi selesai, ya, Bang?” tanya Nurikmal.

“Ya, cari berita sisi-sisi lain yang unik ya,” kataku.

Laporan Nurikmal dari Palembang menjadi headline berita kami beberapa hari. Oplah bertahan di angka tertinggi yang pernah kami capai. Upaya kami merawat pasar berhasil. Meskipun tidak ada berita yang menggebrak. Tak selalu memang ada berita besar. Sementara perhatian publik masih pada kelanjutan kasus pembunuhan Putri.

Satu laporan Nurikmal yang dibicarakan pembaca koran kami di Borgam adalah tentang kekayaan keluarganya di Palembang. Rumahnya megah seperti istana. Ibunya mengelola banyak perusahaan termasuk dealer mobil dan hotel. ”Kaya banget, Bang,” kata Nurikmal.

”Jadi keluarga mereka itu sudah kaya dari dulu ya?” tanyaku.

“Kaya banget. Dan kata orang-orang di sini, makin kaya setelah Putri bersama AKBP Pintor bertugas di Borgam,” kata Nurikmal. “Dealer mobilnya makin besar. Makin banyak cabangnya.”

Naluri wartawan dan logikaku terpicu untuk membuat analisis. Di ruanganku ada selembar kertas yang kubentang di dinding. Di sana kubangun bagan kejadian, nama-nama yang terlibat dalam pembunuhan Putri. Setiap kali ada perkembangan baru, nama baru atau informasi baru, saya menambahkannya hal itu terkait dengan siapa, dan mengarah ke siapa. Analisis seperti ini bagiku sangat membantu perencanaan berita. Itu yang membuat pemberitaan kami terancang rapi.

Kata pembaca seperti cerita bersambung. Dari Pak Hendra saya dapat laporan banyak yang mencari koran lama, karena tertinggal berita-berita terkait kasus pembunuhan Putri. Ferdy menulis semakin bagus. Beritanya tak lagi kering. Modal penting disiplin memverifikasi fakta sejak semula sudah ia punya.

Inilah fakta-fakta yang itu. Ada pembunuhan Putri yang tersangka otak pelakunya mengarah ke suaminya sendiri AKBP Pintor. Ada pengiriman mobil bodong, yang tentu saja dibantah, dan kalau bukan untuk mabes di Jakarta namanya yang tepat adalah ”penyeludupan”. Ada perjudian, kasino gelap, yang semakin menjadi-jadi. Ada kedekatan AKBP Pintor dan atasannya Kapolresta AKP Heru. Apakah kejadian-kejadian ini saling terhubung? Bagaimana dan dari mana menemukan informasi yang menautkan semua hal itu?

Saya menyampaikan itu kepada Bang Eel. ”Soal judi itu tak usah terlalu jauh kita,” katanya. ”Kita ikuti aja. Kalau ada kejadian kita beritakan. Kalau tak ada. Diam-diam aja kita. Kita tak usah cari-cari.” Memang belum ada kejadian. Tak ada yang bisa saya beritakan. Sementara saya percaya pada premis keterkaitan peristiwa yang saya bangun itu.

Sore itu, Yon datang dengan berita mengejutkan. Pemred Metro Kriminal dianiaya orang, semalam. Saya langsung teringat Mila. Dan Edo. Apa mungkin Edo pelakunya? Keterlaluan kalau benar.

Saya sudah melarangnya. Saya panggil ia ke ruangan saya.

“Bukan saya, Abang. Saya tak tahu. Semalam saya tak ke mana-mana. Sampai jam dua kita masih di percetakan. Habis kita makan nasi goreng saya antar abang, saya juga langsung pulang,” kata Edo.

Bang Jon-kah? Yang tahu tentang pelecehan Beni ke Mila itu, yang kuberi tahu, hanya Bang Jon. Saya meneleponnya.

”Kenapa, Dur?”

”Siapa, Bang? Abang ya?”

”Soal Beni? Sudahlah. Sudah selesai. Sebelum kamu cerita kemarin, saya sudah lama tahu Beni itu siapa. Aku ini wartawan brengsek, tapi gak gitu sama perempuan. Mila itu anak baik, kamu tahulah itu, dia sudah kayak adikku sendiri, biar dia nggak kerja sama aku lagi. Ini cuma peringatan buat dia. Kalau Beni masih macam-macam habis dia….”

Aku kembali melihat monster dalam diri Bang Jon.

”Beni dirawat, Yon? Dirawat di mana?” saya bertanya pada Yon yang mulai mengetik berita.

”Nggak dirawat. Nggak tahu kenapa. Kayak ketakutan gitu dia,” kata Yon. (Hasan Aspahani-Bersambung)


Editor : Irawan
Publisher : Ameg.id
Sumber : Ameg.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button