NasionalTak Berkategori

Vaksin Distop di Kapal Titanic

Kemenkes menyetop vaksin AstraZeneca, batch CTMAV547. Miris banget. Sebab: 1) Masyarakat antara ngeri-berani divaksin. 2) Jenis itu sudah beredar 448.480 dosis. 3) Trio Fauqi Firdaus, 22, tewas pada Rabu (5/5) setelah disuntik AstraZeneca.

***

Di situs Kemenkes, Minggu (16/5/2021), diumumkan, penghentian itu dilakukan untuk pengujian toksisitas dan sterilitas BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Sebagai bentuk kehati-hatian pemerintah untuk memastikan keamanan vaksin. 

Baca Juga

Bisa ditafsirkan, selama ini belum pasti.

Dilanjut: Tidak semua AstraZeneca dihentikan penggunaannya. Hanya batch CTMAV547. Itu pun bersifat sementara. Sambil menunggu hasil investigasi dan pengujian BPOM selama satu hingga dua pekan.

Kurun waktu pengujian juga tidak pasti. Karena kata ”sekitar”.

Sedangkan vaksin AstraZeneca diterima Indonesia pada Senin, 26 April 2021, melalui Covac Facility. Jumlah 3.853.000 dosis.

Berdasar keterangan Kemenkes juga, dari jumlah tersebut, ada 448.480 yang batch CTMAV547. Sudah disebar pula.
Menurut keterangan Kemenkes, vaksin AstraZeneca yang termasuk batch itu sudah didistribusikan ke beberapa wilayah Indonesia.

“Batch ini sudah didistribusikan untuk TNI. Juga, sebagian ke DKI Jakarta dan Sulawesi Utara,” tulis siaran pers Kementerian Kesehatan Minggu.

Yang tersebar itulah harus distop. Jangan digunakan (lagi). Nah, bagaimana dengan warga yang sudah disuntik jenis itu?

Pengumuman itu mendebarkan karena waktunya tidak jauh dengan kematian pemuda Jakarta, Trio Fauqi Firdaus, Rabu (5/5/2021). Atau dua pekan lalu. 

Kebetulan, Trio Fauqi divaksin AstraZeneca (belum diungkap batch-nya) pada Selasa (4/5/2021) di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Sehari kemudian tewas.

Lalu, apanya yang diuji BPOM? Mengapa baru sekarang diuji?

Juru bicara vaksinasi Covid-19 Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi mengatakan, itu uji sterilitas dan toksisitas.

Jika dijabarkan, rumit. Intinya, menurut Nadia, untuk mengetahui apakah ada kaitan antara penggunaan vaksin itu dengan laporan kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) serius.

Padahal, KIPI sempat berusaha meneliti penyebab kematian Trio Fauqi.

Tapi, dr Nadia menegaskan, penghentian itu tidak terkait dengan kematian Trio Fauqi. Yang diduga akibat pembekuan darah setelah disuntik AstraZeneca.

Sebab, penyebab kematian Trio masih dugaan. Belum dipastikan. Kepastiannya harus melalui bedah forensik. Sedangkan Trio sudah dimakamkan di hari kematiannya.

”Kasus itu (kematian Trio) mungkin bukan pembekuan darah,” kata Nadia. ”Kalau pembekuan darah, butuh kurang lebih 5–7 hari.” 

Maksudnya: AstraZeneca jenis itu ada kemungkinan menyebabkan pembekuan darah (kepastiannya sedang diuji BPOM). Tapi, di kasus pembekuan darah, menurut Nadia, pasien akan mati pada kurun 5–7 hari setelah disuntik. 

Sedangkan, kasus Trio Fauqi, langsung. Disuntik sekitar pukul 13.00, Selasa (4/5/2921), sorenya langsung demam parah. Esoknya (belum 24 jam dari saat disuntik) death on arrival atau mati di perjalanan menuju RS.

Diskusi soal itu sia-sia. Hanya berupa dugaan demi dugaan. Sebab, tidak ada bedah forensik.

Tapi, problematika itu membuat kita kepo. Balik mundur ke belakang. Seberapa kuat (tingkat efikasi) vaksin AstraZeneca menangkal virus korona?

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dr Penny Lukito pada jumpa pers Selasa (9/3) menyatakan, efikasi vaksin korona AstraZeneca 62,1 persen. 

Artinya, orang tervaksin AstraZeneca masih mungkin tertular korona. Probabilitas tertular korona 37,9 persen.
Masih mending, sih. Daripada tidak divaksin.

Soal efikasi itu, kawanku di Bali memberikan ilustrasi begini:

Kita sekarang menumpang kapal di tengah lautan. Yang bocor. Sebentar lagi tenggelam. Mirip kapal Titanic.
Semua orang panik. Berebut pelampung. Petugas pembagi pelampung sampai kewalahan. Maka, semua orang diwajibkan antre. Harus tertib. Petugas membagi, satu per satu.

Ketika orang hendak menerima pelampung, ditanya dulu oleh petugas:

”Anda bisa berenang, nggak?”

Mereka yang menjawab: Bisa, langsung. Terima pelampung. Aman.

Di antara penumpang, yang tidak bisa berenang, dan sedang antre, bingung. Mengapa ditanya begitu?
Giliran Agus, tidak bisa berenang, tiba di ujung antrean, ditanya petugas:”Bisa berenang?”

”Tidak, Pak.” (gemetar)

”Minggir dulu. Ini khusus yang bisa berenang.”

Agus protes. Tapi, petugas keburu berteriak: ”Giliran berikutnya, maju…”

Agus minggir, terdesak antrean. Kesrondol keras. Tapi, ia tidak terima. Menyeruak maju lagi. Bertanya keras:
”Mengapa pelampung hanya untuk yang bisa berenang?”

”Karena keampuhan pelampung ini cuma 62,1 persen.”

Agus melongo. Mikir. Mereka-reka sendiri. Seandainya kedalaman lautan ini 1.000 meter, pemakai pelampung yang tidak bisa berenang tetap akan mati. 

Karena ia ”magak” di kedalaman 379 meter. Pelampung hanya menolong agar (yang bukan perenang) tidak mentok di 1.000 meter.

Tapi, ilustrasi kawanku itu kelewatan. Sungguh keterlaluan. Sebab, orang tervaksin pun tetap harus waspada. Siapa tahu… kena batch CTMAV547. (*)


Editor : Sugeng Irawan
Publisher : Anwar Fuadi
Sumber : Newsroom Ameg

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button