Cawe-Cawe
SEKITAR pertengahan tahun 2008, saya dihubungi Pak Mashuri, sekarang almarhum, yang saat itu menjadi Ketua DPRD Kota Wisata Batu. Beliau ingin bertemu saya. Langsung saja saya jawab silakan, akan kami persiapkan tempatnya di gazebo rumah dinas di Pendopo.
Keesokannya, siang hari, beliau datang tidak sendiri, tapi didampingi Pak Andrek, Wakil Ketua DPRD, Mas Minto Ketua Fraksi PAN, Mas Simon Purwoali dari Fraksi PDI Perjuangan serta dua anggota dewan lainnya Pak Haryono MC dan Mas Yani. Ikut juga Mas Jinung, Direktur PDAM Kota Wisata Batu serta Bang Mamad yang sudah almarhum.
Kami makan siang bersama di gazebo, yang di bawahnya ada kolam dengan belasan ikan koi berenang ke sana dan ke mari dengan riang. Udara segar, makan siang dengan lauk sederhana jadi terasa nikmatnya. Gazebo di samping rumah dinas yang sekaligus juga berfungsi sebagai kantor ini memang tempat paling favorit untuk menerima tamu, aromanya wangi karena dikelilingi taman berbunga.
Pak Mashuri membuka obrolan tentang sejarah Kota Wisata Batu, yang sebelumnya menjadi bagian dari Kabupaten Malang dengan status kecamatan, kemudian meningkat jadi berstatus Kota Administratif, lantas meningkat lagi dengan status Kota. Mereka yang berada di gazebo ini sebagian terlibat proses peningkatan status tersebut, dari kecamatan sampai berstatus kota.
Sebagai orang baru, yang baru setahun dilantik, saya mendengarkan cerita mereka. Sahut menyahut, terutama antara Pak Mashuri dengan Mas Andrek, Pak Haryono, dan dengan semua yang hadir, sementara saya sendiri lebih senang mendengarkan. Inti ceritanya tentang suka duka menjadi “Wong mBatu, ” yang memperjuangkan pengelolaan kota sehingga lepas dari Kabupaten Malang, setelah lahirnya UU Otonomi Daerah pada era reformasi.
Mereka ini berjuang dengan membentuk Pokja (kelompok kerja). Secara geografis letak posisi Kecamatan Batu sangat strategis, memiliki potensi alam yang dianggap bisa dikembangkan, sehingga bisa hidup mandiri setelah lepas dari Kabupaten Malang.
Saya sangat terkesan pada info-info yang mereka sampaikan. Selain melihat potensi yang ada, saya juga mendengarkan berbagai tantangan seperti masih adanya penolakan dari beberapa pihak, terutama dari para pejabat di Kabupaten Malang, serta belum bulatnya dukungan partai-partai politik yang ada. Bahkan menurut mereka, ada pejabat Pemprov Jatim yang tidak menyetujui meningkatnya status Batu sejak dari berstatus kecamatan hingga menjadi kota.
Perjuangan para tokoh itu layak diapresiasi. Sebab beberapa di antaranya sampai harus menjual barang-barang yang mereka punyai seperti tanah, mobil, motor, dan harta-harta lain, bahkan ada yang sampai meminjam uang dari koperasi, untuk memperjuangkan terwujudnya impian mereka.
Ah…obrolan siang itu, tak terasa berlangsung lebih dari tiga jam. Tetapi bagi saya pribadi, sebenarnya masih banyak lagi yang perlu digali. Informasi yang menurut istilah milenial sekarang, berisi daging semua. Saya sangat memerlukan informasi-informasi tersebut, sebagai bekal bagi saya untuk menjalankan dan melaksanakan amanah yang diembankan di pundak saya untuk memimpin Kota Wisata Batu.
Sekarang, mungkin saja sudah banyak warga yang melupakan bahwa Kota Wisata Batu ini bisa berkembang seperti sekarang, tidak lain karena adanya cawe-cawe para tokoh itu yang berinisiatif dengan membentuk Pokja, kemudian berjuang secara diam-diam. Karena cawe-cawe merekalah yang akhirnya pada tahun 2001 terbentuk sebuah Pemerintahan Kota Wisata Batu, yang tahun ini genap berusia 22 tahun.
Kalau apa yang mereka perjuangkan kini sudah berdiri megah dan menjadi destinasi wisata paling favorit di Jawa Timur bahkan secara nasional, bagaimana halnya dengan keadaan para pejuang itu sendiri? Yang penting mereka dalam keadaan sehat, meskipun dengan kondisi hidup yang sangat sederhana. Ada yang belum memiliki rumah, tidak punya kendaraan, serta berpenghasilan rendah.
Para pejuang itu tidak pernah memikirkan apa yang akan mereka dapatkan setelah perjuangan berhasil. Bagi mereka, yang penting kesejahteraan dan martabat warga Kota Wisata Batu telah terangkat. Balai Kota berdiri megah, dengan ruang parkir luas dipenuhi jajaran mobil dinas maupun mobil pribadi yang mewah. Anggaran kota sudah mencapai trilyunan rupiah, hotel-hotel dan restoran bermunculan menambah pendapatan kota dan pemasukan bagi warganya.
Para anggota Pokja itu, mungkin hanya bisa mengingat ketika mereka dulu ikut cawe-cawe, dengan uang kumel yang mereka miliki di kantong, sekarang melihat gemah ripahnya kota dan warganya, mungkin saja mereka hanya bisa tersenyum di atas angkot yang mereka naiki untuk mengantarkan cucu berangkat atau pulang dari sekolah. “Apik yo balai kota saiki, parkirane kebak mobil gres kinyis-kinyis,” kata salah seorang di antara mereka, ketika angkot yang dinaiki melewati Jalan Panglima Sudirman, depan Balai Kota Among Tani.
Untuk mengapresiasi perjuangan mereka, tahun 2015 saya minta Pokja menerbitkan sebuah buku yang berisi sejarah Kota Wisata Batu, lengkap dengan suka duka dan pahit getirnya cerita yang dialami Pokja. Saya ikut memberi sambutan dalam buku setebal 500 halaman yang terbit bulan Oktober tahun 2015 itu. Sedang pengantar buku ditulis oleh Prof. Hariyono, Guru Besar Sejarah, sekarang Rektor Universitas Negeri Malang.
Al-Fatihah buat tokoh Pokja yang telah mendahului kita semua, semoga cawe- cawe ini merangkai napak dalam sebuah sejarah tidak pernah dilupakan. Ojo lali kacang karo kulite.
Sahabat ER ,
Semarang 15 Juni 2023
Editor | : | |
Publisher | : | |
Sumber | : |