Nasional

Ramadan Terakhir Kami di Gang Dolly

Menjaga Lentera Dakwah Pesantren JeHa Jarak-Dolly (1)

Pesantren Jauharotul Hikmah (JeHa) akan tersingkir dari bumi Dolly mulai hari ini (1/4). Wisma bekas prostitusi yang mereka sewa, sudah habis masa kontraknya per 30 April. Kalau mau tetap di Dolly, lentera dakwah yang berdiri sejak 2008 itu harus menyediakan duit Rp 1,7 miliar.

***

GANG-gang Dolly sudah banyak berubah. ’’Toko-toko kelamin’’ di antara gang sempit di kawasan Putat Jaya itu sudah beralih fungsi. Jadi konter HP, warung makanan, dan sebagian lagi ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya.

Baca Juga

Tak jauh dari gapura, dua bocah sedang duduk berdempetan di bangku semen, Kamis (15/4). Mereka adalah santri cilik Pesantren JeHa Gang Dolly. Rambut mereka masih basah. Sampai merembes ke pinggiran peci. Bedak yang ditabur di wajah keduanya juga sampai meleleh. Sepertinya mereka habis keramas, lupa pakai handuk.

Sang ibu sedang tergesa-gesa saat menurunkan mereka di depan pintu pesantren. Mereka tak masuk langsung karena pintu pesantren masih tertutup. Di dalam masih terdengar suara santri dewasa yang membaca Alquran. Keduanya harus menunggu pergantian kelas pukul 15.00 yang masih kurang lima menit lagi.

Anak-anak yang menunggu antrian mengaji di eks Wisma Puteri Lestari Dolly (15-4)- Foto: Eko Disway 

Di hadapan dua bocah itu berdiri kukuh gedung tiga lantai. Fasad depan dicat merah jambu, sementara tulisan “Wisma Putri Lestari” masih dipertahankan. Wisma adalah sebutan untuk rumah prostitusi di kawasan Jarak-Dolly.

Pengelola JeHa ingin sekali menghapus tulisan timbul itu. Tapi apa daya. Gedung itu bukan milik mereka. Aset yang sudah mereka kuasai berada di Putat Jaya Gang IV B. Sementara yang di Dolly statusnya masih mengontrak. 

Setelah menunggu lima menit, dua bocah itu akhirnya masuk. Ternyata teman-teman mereka sudah menunggu di dalam. Rata-rata masih TK dan kelas 1 SD. Itulah generasi baru Pesantren Jeha dari kelas tilawati jilid pertama.

Mereka duduk anteng, sambil menunggu kakak kelasnya berkemas. Tempat duduk mereka adalah kursi berundak berlantai keramik. Sangat khas Dolly. Dahulu ada sofa berwarna merah mawar terpasang di sana. Pekerja seks duduk sambil menunggu pria-pria mursal dari dalam “akuarium”.

Perempuan dengan pakaian minim memajang diri di balik dinding kaca. Pelanggan boleh melihat-lihat dari luar.

Menawar harga dan mencari yang pas. Kegiatan itu berlangsung menjelang Ramadan 2014. Wali Kota Tri Rismaharini menutup lokalisasi terbesar di Asia Tenggara itu untuk selamanya. 

Wisma Putri Lestari termasuk kelas menengah. Masih ada wisma kelas atas yang berada di tengah-tengah Gang.

Seperti Wisma Barbara yang sudah dibeli pemkot Surabaya. Ada juga wisma kelas bawah dengan koleksi PSK yang bisa dihitung jari. 

Lokasi Wisma Putri Lestari tergolong yang paling strategis. Dekat di mulut gang. Tepatnya, gedung kelima dari gapura. 

Di lantai dasar ada dua kamar berukuran 9 meter persegi. Ada satu tempat tidur dan kamar mandi tanpa pintu yang cuma disekat tembok setinggi satu setengah meter. Sepuluh kamar sisanya ada di lantai 2. Sementara lantai tiganya masih kosong.

Pesantren JeHa hanya menempati lantai pertamanya. Sementara lantai atas dibiarkan mangkrak. Butuh uang untuk membersihkan dan merenovasinya. JeHa tak mampu melakukannya.

Foto-foto kegiatan santri  terpasang di dinding  eks wisma Puteri Lestari Pesantren JeHa Dolly -Foto: Eko Disway 

Ustadz Lukman Hakim yang baru selesai mengajar menyapa kami. Sementara itu, santri dewasa sudah bergegas meninggalkan ruangan. “Harus gantian mas, panggone (tempatnya) terbatas,” kata pemuda asli Dolly itu.

Pesantren menggunakan sistem tilawati hingga jilid 5. Sementara yang dewasa mengaji Alquran hingga khatam.

Mereka yang sudah lulus akan ditawari mengajar di pesantren yang sudah punya santri lebih dari 300 orang itu.

Karena tempat dan pengajar terbatas, pengurus pesantren juga menggunakan rumahnya untuk tempat mengaji. Tak ada rotan, akar pun jadi. Ruang tamu dan halaman rumah jadi pesantren. 

Guru ngaji Pesantren JeHa Dolly  Lukman Hakim  membimbing santri di eks Wisma Puteri Lestari (15-4) . Foto: Eko disway 

Mereka tidak mengeluh. Sudah terbiasa bertahan dalam keterbatasan. Toh, setiap tahun jumlah santri semakin banyak.

Dan kota ini tidak kekurangan orang-orang dermawan. Sehingga, semua biaya mereka digratiskan. 

Lukman memberi tahu kami bahwa ini adalah bulan terakhir Pesantren JeHa di Gang Dolly. Pemilik gedung butuh duit segera. Kontrak tidak diperpanjang. Pengurus harus berkemas-kemas. Memindahkan semua barang ke markas lain di Putat Jaya Gang IV B.

Kami kaget setelah mendengar kabar itu. Lukman tersenyum tipis sambil menganggukkan kepala. Yang dia katakan benar. Pengurus belum punya duit untuk membeli gedung yang penuh kisah perjuangan itu. “Belum diberi tahu Pak Nasih, ta?” tanya Lukman.

M. Nasih adalah salah seorang pendiri Pesantren JeHa. Tiga hari sebelumnya kami menemuinya di Putat Jaya Gang IV B

Spanduk bertuliskan perbuatan baik itu menghapuskan Dosa tertempel di sudut eks wisma yang digunakan untuk mengaji anak-anak Pesantren JeHa Dolly-Foto Eko disway 

Ia tidak cerita sama sekali bahwa kontrak pesantren di Gang Dolly habis bulan April. 

Ia hanya menerangkan bahwa pesantren masih berupaya membangun masjid dan pusat pendidikan Alquran di Putat Jaya. Dibangun di atas tiga eks wisma. Ada asrama di sana. Agar santri bisa dibina 24 jam di pondok. 

Kami langsung menghubungi Nasih yang sore itu masih ada acara lain. Ternyata kabar itu benar. Pemilik gedung menjual wismanya dengan harga Rp 1,7 miliar. Padahal beberapa tahun sebelumnya harganya masih Rp 1 miliar.   “Iya. Ini Ramadan terakhir kami di Dolly,” ucapnya. (*) 


Editor :
Publisher :
Sumber :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button