Nasional

Situasi Memanas Ngaji Tidak Libur

Menjaga Lentera Dakwah Pesantren JeHa Jarak-Dolly (15)

Pemkot sudah mematok deadline: 18 Juni 2014 lokalisasi Jarak-Dolly harus ditutup selamanya. Semakin mendekati hari-H, suasana lokalisasi makin mencekam. Preman dan aktivis pro lokalisasi menabuh genderang perang dengan aparat. Warga yang pro penutupan diintimidasi. Sementara santri Pesantren Jauharotul Hikmah (JeHa) terjebak di tengah situasi.

***

AREK-arek dilebokno ta gak iki? (anak-anak dimasukkan apa tidak ini)?” tanya M. Nasih ke Kiai M. Nu’man saat situasi semakin memanas pertengahan Juni 2014. Kedua pendiri pesantren JeHa itu berunding terkait keamanan para santri jelang penutupan lokalisasi Jarak-Dolly.

Baca Juga

Gesekan tak hanya terjadi antara aktivis lokalisasi dan aparat. Warga yang pro penutupan juga terseret konflik.

Beberapa pihak sampai dilabrak belasan preman karena mendukung pemkot menutup lokalisasi. 

Aktivitas lokalisasi menyebar di lima RW dan sebelas RT. Yakni RW III, X. XII, VI, dan XI Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan. Mayoritas pengurus RT dan RW menolak penutupan. Maklum, mereka juga dapat jatah bulanan dari lokalisasi.

Hanya Yono, Ketua RT V RW 12 Kelurahan Putat Jaya yang melawan arus. Pengurus RT RW lainnya merasa kecolongan dengan sikap Yono yang tiba-tiba muncul di televisi. 

Aktifitas anak-anak saat mengaji di Pesantren JeHa Dolly. (Foto eko disway)

Ia secara terang-terangan mendukung Gubernur Jatim Soekarwo dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menutup prostitusi. Katanya, warga setempat ingin hidup normal.

Yono yang berani koar-koar menjadi sasaran empuk intimidasi. Setelah mendapat tekanan dari aktivis dan preman, ia akhirnya bungkam. Ia juga dicongkel dari jabatan ketua RT. Kalau sama-sama ngotot, bisa terjadi pertumpahan darah saat itu juga.

Melihat kondisi itu, mayoritas warga yang pro penutupan memilih diam. Mereka menyerahkan sepenuhnya penutupan ke aparat pemerintah. 

Mereka yang pro lokalisasi mendirikan posko Front Pekerja Lokalisasi (FPL) di Kupang Gunung Timur atau Gang Dolly. Mereka membentuk pertahanan dengan memblokade jalan. Tak boleh ada aparat yang masuk. Pelanggan yang mau ’’hohohihe’’ masih boleh lewat.

Gang-gang sempit yang biasanya ramai aktivitas kian sepi. Beberapa wisma tetap buka, tapi jarang ada pengunjung yang datang. Sementara itu, warga memilih berdiam diri di rumah.

Para santri menunggu kabar. Apakah ngaji diliburkan atau tetap jalan? Nasih yang ditanya para santri berdiskusi dengan Kiai Nu’man. “Lebokno ae. Wong-wong gak ngara wani ndemok (Masukkan saja. Orang-orang tidak mungkin berani menyentuh),” kata Kiai Nu’man.

Santri cilik hingga besar mulai keluar dari rumah masing-masing dengan memeluk Alquran dan buku ngaji. Mereka berkumpul di pesantren JeHa yang saat itu hanya memiliki satu gedung di Putat Jaya IV B.

Mereka mulai bersalawat dan mengaji di dalam pesantren. Yang di luar ribut-ribut. Mereka tidak peduli. 

Dua hari jelang penutupan, aktivis pro lokalisasi menggelar konvoi. Mereka menggeber knalpot di sepanjang area lokalisasi. Suara bisingnya masuk hingga pesantren yang berdiri di dekat mulut gapura.
FPL juga meminta pemilik wisma memasang bendera setengah tiang (half mast). Tradisi itu biasanya dilakukan sebagai tanda penghormatan atau berkabung. 

Mereka menganggap tradisi yang dimulai sejak abad ke-17 itu cocok untuk menggambarkan situasi yang mereka alami. Lokalisasi Jarak-Dolly dan pelaku usahanya akan “dieksekusi mati”. 

Mereka menganggap pemerintah tak punya hati nurani. Penutupan tidak diikuti dengan solusi. Rantai perekonomian di pusat prostitusi itu begitu kompleks. 

Aktifitas anak-anak saat mengaji di Pesantren JeHa Dolly. (Foto eko disway)

Jika lokalisasi ditutup, yang kehilangan mata pencaharian tidak hanya PSK. Tetapi juga pemilik jasa parkir, toko, warung, laundry, hingga tukang becak, dan ojek. 

Katanya, perputaran uang di Jarak-Dolly selama semalam bisa mencapai Rp 1 miliar lebih. Kalau ditutup mereka mau makan apa? Faktor ekonomi itu selalu digaungkan aktivis pro lokalisasi. Sudah ada yang mendapat pendampingan dari pemkot. Tapi, belum semua. 

Hari silih berganti, eksekusi kian mendekat. Sehari sebelum ditutup, FPL bersatu di posko. Mereka mengikatkan kain merah bertulisan “Barisan Bintang Merah” di kepala.

Sementara itu aparat gabungan dari TNI, Polri dan Satpol PP berjaga di Islamic Centre di Dukuh Kupang. Jarak markas kedua pihak itu hanya 200 meter. Sangat rawan bentrok.

Saat suasana semakin panas, santri-santri JeHa ternyata tetap aman di pesantren. Prediksi Kiai Nu’man benar. Tidak ada yang berani mengusik para santri sampai hari itu. “Karena urusannya tidak hanya dengan kami nanti. Tapi dengan wali santri dan komunitas,” kata dosen yang juga wirausahawan itu.

Terlalu banyak musuh yang dihadapi FPL. Jika mereka mengusik para santri, maka musuh mereka semakin bertambah.  Pemerintah juga punya alasan tambahan untuk menutup Dolly. (*)


Editor :
Publisher :
Sumber :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button