Nasional

Kita Tak Punya Kapal Selam yang Siap Tempur

Peristiwa hilangnya kapal selam KRI Nanggala-402 kembali membuka mata kita bahwa ada persoalan besar dalam alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI. Teknologi alutsista TNI rata-rata sudah uzur atau berusia tua. Seperti KRI Nanggala yang sudah berusia 44 tahun. Harian Disway mewawancarai ALMAN HELVAS, konsultan pasar dan industri pertahanan yang juga alumnus Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma (Unsurya), terkait kondisi alutsista TNI saat ini.
Baca Juga
***
Apa evaluasi terhadap kekuatan alutsista kita selama ini?
Yang lebih penting adalah kebijakan politik pemerintah untuk pendanaan alutsisya. Seberapa mampu pemerintah menyediakan kebutuhan alutsista TNI. Prosesnya, dari kementerian pertahanan mengajukan permintaan ke Bappenas dalam bentuk blue book. Bila disetujui Bappenas akan masuk green book. Masalahnya, green book ini pelaksanaannya tergantung dari kementerian keuangan. Financing dari kemenkeu. Tinggal seberapa mampu kemenkeu mampu membiayai. Apalagi kondisi sekarang kita di bawah tekanan fiskal. Debt to GDP ratio kita sekitar 40 persen. Harus hati hati mengelola utang.
Masalah kedua soal transparansi atau good governance. Bagaimana mencegah korupsi dalam pengadaan dan pemeliharaan alutsista. Ini sensitif. Agak sulit karena TNI di luar yurisdiksi KPK.
Selama ini berapa anggaran untuk pengadaan alutsista?
Untuk alutsista ada tiga sumber yakni APBN, pinjaman luar negeri, dan pinjaman dalam negeri. Kalau yang APBN murni jumlahnya sedikit, Rp 2-3 triliun. Paling hanya bisa untuk yang kecil-kecil seperti amunisi. Mayoritas dari pinjaman luar negeri. Tahun ini alokasi green book untuk pinjaman luar negeri alutsista adalah USD 9,3 miliar (sekitar Rp 135 triliun, Red). Itu untuk satu tahun anggaran. Sudah lumayan signifikan karena sebelumnya hanya USD 7,3 miliar untuk lima tahun anggaran.
Rencana untuk apa saja USD 9,3 miliar?
Antara lain kapal selam, pesawat tempur, rudal. Tapi itu baru di atas kertas. Penetapan sumber pembiayaannya belum ada. Kita dihadapkan pada kondisi keuangan yang tertekan. Walaupun Kemenhan sudah teken kontrak, kalau uang tidak keluar juga tidak bisa dieksekusi.
Sudah seberapa mendesak peremajaan alutsista kita? 
Yang paling mendesak adalah TNI Angkatan Laut. Rata-rata sudah sangat tua.
Untuk kapal selam bagaimana?
Kita punya lima kapal selam. Ada Nanggala-402 dan Cakra-401 buatan Jerman. Lalu ada tiga kapal selam buatan Korsel (KRI Nagapasa-403, KRI Ardadedali-404, dan KRI Alugoro-405 buatan PT PAL hasil transfer teknologi dari Korsel). Khusus kapal selam dari Korsel ada masalah teknis yang belum terpecahkan. Kapal itu belum pernah ikut sertifikasi penembakan torpedo. Jadi secara teknis belum siap tempur. Meski kapal itu baru diserahkan 2016-2020. Cakra-401 sekarang ada di galangan PT PAL. Penyakitnya sama dengan Nanggala karena sudah tua.
Saat ini Menhan mengincar kapal selam dari Prancis (Riachuelo). Harganya antara USD 600 juta-700 juta per unit (Rp 8-10 triliun per unit). TNI-AL menargetkan punya 12 kapal selam.
Apakah kita punya kapal rescue untuk kapal selam?
Kita belum punya. Sebenarnya tahun ini pembelian kapal rescue sudah masuk green book Bappenas. Alokasinya USD 100 juta. Itu untuk peralatan seperti milik Singapura, MV Swift dan DSAR 6. Pemerintah sudah punya biat membeli kapal rescue. Apa daya musibah mendahului.
Ada yang mengatakan perang sekarang sudah bukan perang fisik. Sehingga tidak perlu belanja alutsista. Bagaimana tanggapan Anda?
Ya itu tidak relevan. Perang sekarang ujungnya juga ke perang fisik. Ketika prang nonfisik gagal akan ada perang fisik. Negara Asia Tenggara lainnya terus membangun kekuatan militer untuk menjaga kepentingan masing-masing. (Tomy)


Editor :
Publisher :
Sumber :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button