Opini

Lakon! `

HIDUP itu menjalankan lakon. Tidak lebih, di luar hubungan antara yang menjalankan lakon dengan Sang Pencipta.

Saya juga merasa sedang menjalankan lakon, ketika tahun 2007. Dengan pakaian serba putih dengan pangkat tiga melati di pundak, bertopi dengan lambang burung garuda, bersepatu putih, berangkat dari rumah pribadi di Kota Malang menuju Gedung DPRD Kota Wisata Batu.

Naik mobil hitam keluaran terbaru buatan tahun 2007 dengan pengawalan untuk diambil sumpah, disaksikan sekian banyak orang, belum termasuk pemirsa TV. Tidak pernah sebelumnya saya membayangkan lakon yang sedang saya jalankan itu akan terjadi.

Baca Juga

Jauh sebelum itu, kalau tidak salah tahun 1975, atau tahun-tahun sekitar itu, suatu malam saya diajak Ebes Sugijono yang ketika itu sudah dua atau tiga tahun menjadi Walikota Malang ke rumah seorang juragan becak yang ada di Kota Malang.

Kemudian berjalan kaki masuk ke luar kampung, menemui beberapa tukang becak di rumah mereka. Usia saya ketika itu sekitar 15 tahun, jadi belum begitu memahami apa yang diobrolkan dengan mereka, dan untuk tujuan apa Ebes menemui mereka. Hampir tengah malam baru kami pulang ke rumah.

Pagi harinya, Ebes mengundang beberapa pejabat dan staf untuk diajak rapat khusus membahas masalah becak. Saya ikut menguping rapat itu, dengan duduk ndoprok di pojok ruangan rumah dinas, tempat berlangsungnya rapat mendadak itu.

Saat itu ada ruas jalan di Kota Malang yang sudah lama diberlakukan bebas becak, yaitu Jalan Kayu Tangan, di tengah kota. Di sepanjang jalan ini berdiri beberapa perkantoran, antara lain Telkom, Kantor Pos, perbankan dan pertokoan dan rumah makan, sehingga sebenarnya becak menjadi alat transportasi publik yang sangat penting.

Dari hasil menguping rapat di rumah dinas itu saya dengar Ebes menjelaskan akan ada tukang becak menggelar demo karena menolak pelarangan becak masuk Jalan Kayu Tangan. Menurutnya, harus dicarikan jalan keluar karena bagi para tukang becak, justru Jalan Kayu Tangan adalah kawasan yang banyak penumpangnya, baik penumpang yang akan naik maupun turun.

Meskipun saya tidak memahami benar persoalan yang dibahas dalam rapat itu, tetapi saya dapat menghubungkan antara kunjungan Ebes ke rumah juragan becak dan para pengemudinya, dengan kebijakan yang akan diambil Pemkot. Ternyata, Ebes semalam mencari masukan dari mereka, untuk kemudian dijadikan kebijakan walikota.

Ingatan tentang Ebes dan para tukang becak itu, muncul di benak usai saya dilantik jadi Walikota Batu. Untuk membangun Kota Wisata Batu yang dimulai tahun 2008, juga membutuhkan perenungan dan pendalaman seperti yang dilakukan Ebes dulu.

Misalnya, bagaimana saya sebelumnya melihat ada sebidang taman yang sama sekali tidak terurus yang terletak di depan Masjid An-Nur di pusat kota. Kondisi taman itu kalau siang nampak kumuh, di malam hari nampak gelap sehingga taman itu tdak berfungsi sebagaimana taman yang sesungguhnya.

Saya secara diam-diam kemudian berdialog dengan warga sekitar, juga dengan jamaah Masjid An-Nur, mencari masukan bagaimana kalau taman yang tidak terawat itu dijadikan alun-alun. Karena memang saat itu Kota Wisata Batu tidak memiliki alun-alun, sebagaimana kota-kota lain di Indonesia. Konsep yang akhirnya saya dapatkan hasil dari dialog itu, alun-alun itu nantinya tidak hanya berfungsi sebagai tempat rekreasi, tetapi juga jadi tempat edukasi serta jadi simbol para petani.

Bukan itu saja, alun-alun itu juga harus jadi tempat bagi warga Kota Wisata Batu untuk mencari rezeki. Itulah proses yang terjadi pada pembangunan alun-alun yang sekarang jadi titik jujugan masyarakat yang datang ke Kota Wisata Batu. Tanpa saya sadari, saya telah meniru cara pendekatan yang dilakukan Ebes pada warganya, ketika almarhum selama 10 tahun menjadi Wali Kota Malang tahun 1973-1983.

Pendekatan-pendekatan seperti itu terus saya lakukan, dan saya kembangkan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Dengan kemajuan teknologi era digital, dengan mudahnya setiap saat saya dapat berkomunikasi, bahkan bertatap muka secara on line, baik dengan warga maupun dengan staf, yang saya dorong untuk selalu berkomunikasi dengan warga.

Saya sering mengingatkan kepada seluruh staf, bahwa pada dasarnya mereka juga adalah warga Kota Wisata Batu yang membutuhkan pelayanan, sehingga mereka benar-benar mengerti pelayanan seperti apa yang dibutuhkan warga lainnya.

Dengan demikian mereka bisa berperan sebagai mestinya ketika harus menjalankan dua lakon berbeda, yaitu lakon sebagai warga yang membutuhkan pelayanan, dan lakon sebagai pamong yang memberikan pelayanan kepada warga

Begitulah sekelumit cerita ini, yang seakan baru terjadi kemarin, dan sedang kami perbincangkan dengan beberapa teman dan sahabat, sambil nongkrong malam hari di trotoar pinggiran alun-alun, setelah makan malam bersama dengan lauk ayam penyet dan lalapan lengkap, dihibur lagu-lagu dan genjrengan gitar dari pemuda yang sedang menjalani lakon sebagai seorang pengamen. Koen iku sopo. Koen duwe opo. Koon lagi ngguyu opo. Koen numpak mobil opo. Koen lagi lungguh nang kursi opo. Lakonmu opo.

Sahabat ER , Semarang 2 Juli 2022.


Editor : Irawan
Publisher : Ameg.id
Sumber : Ameg.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button