Kota Batu

Mirisnya Nasib Apel Batu…

AMEG – Kondisi lahan apel di Kota Batu dari tahun ke tahun terus berkurang. Berdasar data Dinas Pertanian, pada 2015 masih 1,768,27 hektare, tahun 2016 seluas 1,765,57 hektare, 2017 seluas 1,759,69 hektare, 2018 seluas 1,765 hektare, 2019 tinggal 1,092,8 hektare dan 2020 tinggal 1.200 hektare. 

Produktivitas juga terus mengalami penurunan, ditengarai karena usia pohon yang sudah tua, berkisar antara 20-25 tahun. Sehingga produktifitas buahnya menurun dan menyebabkan masalah dalam waktu lima tahun terakhir ini. 

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Sugeng Pramono, menjelaskan, untuk menanggulangi itu, pihaknya telah melakukan revitalisasi lahan-lahan apel, khusunya di kawasan Bumiaji.

Baca Juga

“Selain masalah usia pohon. petani juga mengalami masalah yang disebabkan global warming. Seperti masalah suhu. Karena pohon apel harus hidup di wilayah dingin atau dataran tinggi,” tutur Sugeng. 

Mengatasi hal itu, pemerintah telah memberi berbagai bantuan, seperti pupuk organik padat dan cair.  Pemerintah juga mensuport regenerasi pohon apel dengan memberikan bantuan bibit.

Awalnya setiap hektare lahan memperoleh 30-40 ton. Tapi saat ini tidak bisa, karena hanya menghasilkan 10-15 ton saja per hektarenya. Faktornya tak hanya iklim, tapi juga tingkat kesuburan tanah yang mengalami degradasi.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Batu, Sugeng Pramono.

Meski lahan dan hasil pertanian apel terus turun, pihaknya yakin apel Kota Batu tak akan punah, karena saat ini pihaknya betul-betul konsen dalam perbaikan lahan pertanian apel. 

Merosotnya produktifitas sudah mendapat perhatian dari pusat. Pemerintah pusat telah menggembar-gemborkan bahwa produk buah-buahan harus murni dari dalam negeri.

Salah satu petani apel, Usman Hudi, mengatakan, harga jual saat ini juga terus turun. Apel dalam kondisi baik kini hanya Rp 7 ribu-8 ribu per kg. Jika kurang bagus hanya Rp 4 ribu-5 ribu per kg. 

“Untuk perawatan satu pohon kami butuh biaya Rp 90 ribu. Sedangkan saat panen harga jualnya hanya Rp 50 ribu sampai Rp 60 ribu saja. Jadi kami masih rugi,” ujarnya.

Karena itu, saat ini dia lebih memilih bertransformasi menjadi petani jeruk. Lahan apel miliknya kini hanya tersisa lima hektare saja. Dimana, tiga hektare lainnya diganti jeruk. 

“Saya mengganti tanaman apel jadi jeruk karena perawatannya lebih mudah. Selain itu harga jual jeruk lebih mahal. Sehingga keuntungan lebih banyak,” tandasnya.(*)


Editor : Achmad Rizal
Publisher : Rizal Prayoga
Sumber : -

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button