Film

Setelah Monser Laut Menjadi Manusia

Luca, Versi Advanced The Little Mermaid

DALAM dunia fantasi Disney yang penuh keajaiban, menjadi manusia itu pasti sangat menyenangkan. Sampai setiap makhluk laut kepingin punya kaki dan hidup di daratan. Tapi kalau sudah punya kaki, what’s next? Naik Vespa, lalu menjelajah dunia!

***

AMEG – Itulah premis Luca, animasi terbaru Pixar, yang dirilis di Disney+ pada 18 Juni lalu. Premis awalnya seperti The Little Mermaid, si putri duyung yang kepingin menjadi manusia demi mengejar cinta sejati. Luca seperti kepanjangan dari obsesi Ariel. Apa yang terjadi kalau seekor (atau seorang?) makhluk laut sudah menjadi manusia.

Baca Juga

Luca (suaranya diisi aktor cilik Jacob Tremblay) adalah seekor monster laut (sea monster). Spesiesnya murni fiktif. Bukan turunan dari hewan yang sudah ada. Seperti di The Little Mermaid juga, bangsanya—yang hidup di perairan Teluk Genoa, Italia—dianggap berbahaya. Bahkan diburu. Ibu Luca, Daniella (Maya Rudolph) mati-matian melarang anak dia bermain terlalu dekat dengan permukaan air.

Dan namanya anak-anak, semakin dilarang, pasti semakin penasaran. Apalagi, suatu hari ia bertemu Alberto (Jack Dylan Grazer). Sesama sea monster yang bandel, berjiwa bebas, cenderung berandalan. Maka, pada hari ketika ia merasa paling berani, Luca nekat mengikuti Alberto ke daratan.

Tak disangka, ketika ia keluar dari air, ekornya berubah menjadi sepasang kaki. Ia otomatis menjadi manusia! Lalu kenapa dulu Ariel repot-repot menukar suara untuk mendapatkan sepasang kaki dari penyihir jahat? Ah, dramak. Hehehe…

So, Luca, yang langsung menguasai skill berjalan dan berlari dengan dua kaki, langsung memancang mimpi baru. Ia dan Alberto jatuh cinta pada Vespa. Skuter keren asli Italia itu. Mereka kabur ke kota yang paling dekat dengan pantai, Portorosso, untuk mencari Vespa.

Di situlah mereka menjalani petualangan paling seru. Tempat Luca berlatih naik sepeda, makan pasta, hingga mengenal ruang angkasa. Ia juga mulai mengenal cinta pertama, persahabatan, serta kesetiakawanan. Pendeknya, belajar jadi manusia. Tentunya, diselipi humor dan wisdom khas Disney. Dan dipadukan dengan kualitas gambar standar Pixar. Belissimo!

Perbedaan dan Penerimaan Diri

Secara umum, Luca memiliki efek yang mirip dengan film-film Pixar sebelumnya. Ia membawa kehangatan dan rasa nyaman khas film keluarga yang ditulis dengan sangat baik. Setelah memiliki dua kaki, dan berkenalan dengan gadis manusia bernama Giulia (Emma Berman), ceritanya memang agak tertebak.

Tapi siapa yang peduli? Ini film keluarga. Bukan adaptasi novel Agatha Christie. Targetnya—sebagian besar—adalah anak-anak. Ada pesan yang ingin disampaikan. Lewat Luca dan Alberto, juga Giulia, pesan itu nyampe.

Luca adalah film soal penerimaan. Baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Dari Giulia, kita belajar bahwa menjadi diri sendiri itu sangat penting. Tidak perlu sok cool. Menjadi berbeda, tidak sama dengan orang kebanyakan, bahkan dianggap aneh untuk ukuran manusia, tidak masalah. Yang penting kita happy tidak berpura-pura.

Lewat Luca, kita belajar menemukan jati diri dan passion. Tidak apa-apa kalau awalnya hanya ikut-ikutan teman. Nanti, sepanjang perjalanan, pasti akan ketemu sendiri. Yang paling penting adalah, apa yang harus kita lakukan setelah itu? Apakah mau berjuang mengejar passion? Atau mau menetap di zona aman?

Dari Alberto dan orang tua Luca, kita belajar menghargai pilihan orang lain. Alberto, yang ditinggal ayahnya sejak kecil, tiba-tiba menemukan sosok sahabat pada diri Luca. Tapi, mereka harus berpisah jalan. Awalnya Alberto tidak rela. Tapi, itulah kehidupan. Kita tidak bisa berharap orang yang kita sayangi bersama-sama kita terus. Dan pada suatu titik, ia memutuskan untuk berkorban buat sahabatnya.

Sementara dari penduduk Kota Portorosso, kita belajar menerima perbedaan. Mereka sangat takut membenci monster laut. Hanya karena tidak tahu monster laut itu apa. Isu itu relatable banget dengan situasi saat ini. Ketika kebencian kepada ras dan golongan tertentu tak juga mereda. Bahkan di tengah pandemi virus korona.

Normalisasi LGBTQ?

Khas film Disney, film ini tidak berteriak dengan lantang. Pesan-pesannya sangat subtle. Sangat tersembunyi. Bahkan saking halusnya, banyak yang membuat intepretasi sendiri. Sejumlah pengamat menyebut Luca menyelipkan agenda normalisasi LGBTQ.

Tanda-tandanya terlalu banyak. Ia dirilis pada Juni, yang dikenal sebagai Pride Month. Rambut Luca maupun Alberto sangat stylish. Sementara judulnya sendiri seperti mengacu ke sutradara film musim panas paling gay sejagat, Call Me By Your Name, Luca Guadagnino.

Namun, dugaan itu ditepis oleh sang sutradara, Enrico Casarosa. ’’Ini adalah film tentang persahabatan. Seksualitas tidak masuk dalam hitungan,’’ kata Casarosa dikutip Guardian.

Namun, tetap saja, banyak alegori yang mengarah ke situ. Tentang anak yang ’’berbeda’’, menjadi korban prasangka, galau memilih antara dua dunia. Hingga proses penerimaan diri yang mirip dengan narasi ’’coming out’’. Yakni ketika seseorang menyadari orientasi seksualnya, lalu memutuskan untuk mengakuinya ke semua orang.

Well, ada unsur gay atau tidak, Luca tetap masuk daftar wajib tonton. Plotnya sederhana dan manis, lucu, dan visualnya—seperti biasa—luar biasa. Sayang ia hanya bisa dinikmati di layanan streaming. Sehingga jatuhnya hanya: bagus. Coba kalau di bioskop. Pasti jadi buuuagus. (*)


Editor : Sugeng Irawan
Publisher : Rizal Prayoga
Sumber : Harian Di's Way

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button