Nasional

Bekas Wisma Pelacuran Jadi Gedung Pusaka

Di tengah-tengah Pesantren Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) terdapat Masjid Pusaka. Gedung tua itu sengaja dipertahankan sebagai penanda sejarah. Pesantren Jauharotul Hikmah (JeHa) yang tiga pendirinya lulusan Gontor juga punya gedung pusaka yang menjadi cikal bakal dakwah di pusat prostitusi Jarak-Dolly itu.

***

DULU, ketika jumlah santri masih dalam hitungan jari, semua kegiatan dakwah di Gontor dipusatkan di masjid kecil di tengah pondok. Seiring perkembangan zaman, jumlah santri semakin membeludak. Ruangan tak mampu lagi menampung jamaah salat berjamaah. 

Baca Juga

Apalagi kalau sudah salat Jumat. Jamaah melebar memenuhi ruangan kelurahan hingga bagian latar, serta halaman selatan masjid. 

Pada 1967 panitia pembangunan masjid mulai dibentuk. Sidang pembahasannya juga dihadiri Trimurti PMDG: KH Ahmad Sahal, KH Zainudin Fananie, serta KH Imam Zarkasyi. 

Fondasi Masjid Jamik mulai digali pada 16 Desember 1970 di tanah seluas 1.960 meter persegi. Presiden Soeharto meresmikannya pada 4 Maret 1978, berbarengan dengan perayaan setengah abad PMDG.

“Nah, masjid pusakanya itu tidak dirobohkan. Jadi semacam perpustakaan ya, Mas?” tanya pendiri JeHa M Rofi’uddin ke kakaknya Kiai M. Nu’man. Rofik alumni Gontor 1997. Sementara Nu’man sudah masuk 10 tahun lebih awal.

Mereka sama-sama tahu bagaimana PMDG memuliakan masjid pusaka itu. Para kiai Gontor selalu mengajarkan bahwa jejak sejarah harus diabadikan. Entah dalam bentuk tulisan maupun peninggalan fisik.

Masjid kecil yang dinamai Masjid Pusaka itu adalah saksi sejarah perjalanan Gontor. Bangunannya sengaja dipertahankan untuk menjaga spirit perjuangan para pendiri yang telah tiada.

Maka, masjid itu harus tetap utuh. Santri-santri baru harus tahu bahwa Gontor sebesar itu dimulai dari masjid yang sangat sederhana. 

Masjid JeHa dan asrama yang masih dalam proses pembangunan yang berada di tengah kampung Putat Jaya IV B-1

Spirit itu terbawa oleh para pendiri JeHa. Tiga dari empat pendiri JeHa adalah putra Haji Umar Abdul Azis. Pengusaha udang windu dan pedagang asal Leran, Gresik, itu mengungsikan semua anaknya ke Gontor karena situasi di Jarak-Dolly semakin mengkhawatirkan. 

Ternyata keputusan Haji Umar sangat tepat. Tiga dari enam anaknya yang lulusan gontor mewarisi semangat dakwah sang abah. Sekaligus membawa spirit perjuangan dari Gontor. “Dan perjalanan kami ini memang sangat mirip dengan Gontor,” ujar Kiai Nu’man.

Gontor adalah singkatan dari nggon (tempat) kotor. Sama seperi JeHa yang berdiri di lokalisasi Jarak-Dolly pada 2008. Semua bentuk kemaksiatan ada di sana saat pesantren didirikan 1926.

JeHa juga punya gedung pusaka yang jadi cikal bakal perjuangan seperti di Gontor. Gedung yang berada di dekat gapura Putat Jaya Gang IV B itu adalah aset pertama yang menjadi tempat ngaji 30 santri pertama.

Gedung itu didirikan di atas eks tempat pelacuran. Pemiliknya meninggal pada 2007. Ahli warisnya tak mau meneruskan usaha haram itu. 

Kiai Nu’man tertarik dengan rumah itu. Namun ada hambatan. Pihak keluarga masih alot melepas asetnya. Bagaimanapun juga kawasan Jarak-Dolly masih jadi primadona tempat usaha. Perputaran ekonomi sangat tinggi di sana. Pagi ada pasar, malam hari jadi tempat prostitusi. 

Ia bersabar, hingga akhirnya ada jalan. Nu’man harus ke Kediri untuk mendapat tanda tangan istri almarhum pemilik tanah. “Saya ingin urusan keluarga selesai dulu. Nanti saya lunasi,” kata Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Ampel Surabaya itu. 

Akhirnya deal. Gedung beserta tanahnya dibeli Rp 275 juta. Namun, kondisi gedung kurang layak ditempati. Maka, Nu’man terpaksa merobohkannya.

Ia gelontorkan lagi Rp 300 juta untuk membangun gedung baru. Fondasinya didesain untuk bangunan dua lantai. Namun sampai sekarang masih dibangun satu lantai.  Tanahnya diurug agar lebih tinggi dari jalan kampung. “Ya rumah itu, yang tadi Njenengan (Anda) ke sana,” kata Nu’man sembari menunjuk ke utara.

Bangunan  siap ditempati pada awal 2008. Namun, sampai sekarang ia tak pernah sekalipun menempati rumah itu. Ia rela rumah yang dibeli dan dibangun dengan uang pribadinya dipergunakan di jalan dakwah.

Inilah “Darul Arqom”-nya pesantren JeHa. Saat Nabi Muhammad tidak bisa berdakwah terang-terangan, Al-Arqam bin Abi Al-Arqam Al-Makhzhumi merelakan rumahnya jadi markas dakwah. 

Makkah belum dikuasai. Dakwah terang-terangan sangat membahayakan.

Yang terjadi di Jarak-Dolly juga seperti itu. Pengurus JeHa tidak mungkin secara frontal mendakwahi para preman, mucikari, dan pekerja seks komersial (PSK). Bisa bentrok. 

Mereka mengalah dengan menggelar kegiatan yang tidak mencolok. Pelan-pelan anak-anak di lingkungan Jarak-Dolly ditawari jadi santri. Pengurus mendatangi satu per satu rumah warga.

Bulan pertama dapat 30 orang. Strategi ini juga dilakukan oleh Nabi Muhammad saat awal dakwah. Anak-anak muda lebih gampang menerima dakwah ketimbang petinggi-petinggi Quraisy yang kolot.

Maka yang termasuk assabiqunal awwalun (orang-orang pertama yang masuk Islam) adalah anak-anak dan remaja . Ali bin Abu Thalib dan Zubair bin Awwam masih berusia 8 tahun kala itu. Ada juga Thalhah bin Ubaidillah (11 tahun), Arqam bin Abi Al-Arqam (12 tahun), serta Abdullah bin Mas’ud (14 tahun).

“Santri pertama JeHa itu semuanya masih SD,” ujar Rofik. (*)


Editor :
Publisher :
Sumber :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button