Entertainment

Menyeret Penonton ke Jurang Demensia

MALAM-MALAM di Festival Film Sundance, biasanya diisi dengan film-film paling menyeramkan yang pernah ada. The Blair Witch Project, Saw, Hereditary, hingga Get Out, bergantian mengisi slot tengah malam. Hanya buat penonton yang punya nyali. 

Namun tahun lalu, tepat sebulan sebelum pandemi Covid-19 membuat industri film mati suri, Sundance menjadi ajang premiere film yang lebih mengerikan dari sinema horor mana pun.

Bukan soal pembunuh sadis atau hantu gentayangan. Bahkan genrenya bukan horor. Namun, kengerian hidup sembari bertarung dengan demensia sukses menghantui siapa pun. 

Baca Juga

The Father, yang diputar kali pertama di Sundance 2020, sempat menipu kita. Film ini memang mengisahkan hubungan seorang ayah, Anthony (diperankan dengan dahsyat oleh Anthony Hopkins) dengan putrinya, Anne (Olivia Colman). Anne mengorbankan hampir seluruh hidup dia (bahkan asmara dia) demi merawat sang ayah yang sudah pikun. 

Kelelahan, kesedihan, dan rasa frustrasi Anne seolah menjadi tema utama film besutan Florian Zeller ini. Penonton digiring untuk melihat film dari sudut pandang Anne. 

Tapi, adegan demi adegan yang menghantam dengan cepat menyadarkan kita. Ini bukan soal si anak perempuan yang hampir gila mengurus sang ayah. Ini adalah tentang si ayah sendiri. Yang begitu pintar menyeret kita ke jurang demensia bersamanya. Ikut merasakan ngerinya kehilangan ingatan perlahan-lahan. Hari demi hari. Menunggu hingga helai daun terakhir meninggalkan pohon memori. Untuk mati. 

Lingkaran Tanpa Henti 

Film dibuka dengan Anne mengunjungi sang ayah di flatnya di London. Dia kesal, karena Anthony sekali lagi mengusir suster yang disewa untuk merawatnya. Anthony sudah pikun. Namun, ia bersikeras tidak mau disewakan pengasuh. Padahal, Anne ingin pindah ke Paris bersama pacar baru dia. Dia tak mau meninggalkan sang ayah sendirian. 

Esok paginya, Anthony kaget melihat ada seorang pria duduk santai di rumahnya. Ia mengaku sebagai Paul, suami Anne selama 10 tahun. Yang bikin kesal, pria itu menyebut bahwa Anthony menumpang tinggal di rumahnya. Ketika mereka berdebat, Anne pulang membawa belanjaan. Betapa kagetnya orang tua itu. Ketika wajah Anne sama sekali berbeda. 

Keesokan harinya lagi, Anne membawa sang ayah ke dokter. Ia diberi satu set obat baru. Yang fungsinya hanya memperlambat demensia. Dan menenangkan syaraf. Namun tidak mengobati. Saat makan malam, Anthony mendengar Anne dan Paul bertengkar. Soal dirinya. 

’Kita harus mencari jalan keluar lain,’’ kata Paul keras. ’’Apa misalnya?’’ Anne menuntut. ’’Entahlah. Titipkan ayahmu ke institusi…’’’’Rumah jompo? Aku nggak bisa…’’

Anthony masuk ruang makan, dan perdebatan itu berhenti. Pada akhir dinner, ia mengucapkan sesuatu yang membuat marah Paul. Hingga anaknya dan si pacar bertengkar lagi. 

’’Kita harus mencari jalan keluar lain,’’ kata Paul keras. ’’Apa misalnya?’’ Anne menuntut. ’’Entahlah. Titipkan ayahmu ke institusi…’’’’Rumah jompo? Aku nggak bisa…’’

Lho, kok diulang? Pusing kan? Persis seperti itulah yang dirasakan Anthony. Akhirnya kita sadar bahwa beberapa hari yang telah berlalu itu adalah rangkaian peristiwa dalam satu hari. Anthony tidak ingat, saking pikunnya. Ia kebingungan dengan urutan kejadian. Dan membawa kita ikut bingung bersamanya. 

Untuk menyadari apa yang terjadi, kita tidak boleh mempercayai Anthony. Scene apa pun yang melibatkan dirinya, tidak dapat dipastikan kebenarannya. Ia tak bisa membedakan mana yang asli dan mana yang halusinasi. Bahkan ketika ia bicara dengan dokter, pikiran bawah sadarnya mengalami delusi. 

Dan kalau penonton putus asa ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, maka Anthony lebih desperate lagi! Karena ia tidak bisa curhat ke siapa pun. Tidak akan ada yang memahami dirinya. Anne hanya akan makin panik, dan kembali membawanya ke dokter. Sementara Paul akan semakin membencinya. 

Desain Set Krusial

Jika tidak ingin terseret ke dalam alam pikiran Anthony, perhatikan desain set setiap adegan. Anthony selalu merasa dia ada di flatnya sendiri. Namun, Anne dan Paul selalu bilang bahwa ia tinggal di rumah mereka. Kuncinya ada di set. Tata letak kedua rumah sepertinya sama. Namun, jika kita perhatikan detailnya, jelas berbeda. 

Anthony bangun di kamar yang sama sekali berbeda. Ranjang dan spreinya jelas berbeda. Dinding dan pintunya juga tidak sama. Rumah Anthony lebih klasik, dengan daun pintu dan bingkai jendela yang dipelitur mengkilat. Rumah Anne bergaya modern. Pintunya putih tulang. Dan ketika ia melihat ke luar jendela, pemandangan di jalan tidak sama. 

Dari hari ke hari, rumah Anne semakin kosong. Buku-buku di perpusatakaan semakin sedikit. Lukisan-lukisan diturunkan dari dinding lorong dan ruang keluarga. Dan pada suatu hari, semuanya terkemas rapi dalam dus-dus besar. Siap dibawa ke Paris. 

Penonton juga sempat dibuat bingung. Karena berhari-hari Anne tampak mengenakan blouse yang sama. Berwarna biru, dengan kerah pendek. Masak nggak ganti baju? Ternyata, memang hari belum berganti. Kita terbawa delusi Anthony bahwa sepekan telah berlalu. Sementara sebenarnya cerita berputar-putar di satu hari yang sama.  

Oscar buat Hopkins? 

Betapapun excellent skenario yang dibuat Florian Zeller, The Father tidak akan mengguncang kita sedahsyat ini kalau pemainnya bukan Anthony Hopkins. Akting Hopkins memang selalu istimewa. Namun, kita tidak bisa membayangkan tokoh Anthony jika bukan diperankan olehnya. Ia menggerutu, tertawa, marah, menangis, dan bersikap menyebalkan dengan sangat natural. Seperti tidak sedang berakting. 

Meskipun, tentu saja dia berakting. Hopkins yang asli, di usia 78 tahun, masih sangat energik. Ingatannya tajam. Dan masih sangat aktif berkarya. Ini tahun kedua beruntun ia masuk nominasi Oscar. Tahun lalu, Hopkins juga dinominasikan lewat peran sebagai Paus Benediktus XVI di film The Two Pope. Namun kalah oleh Joaquin Phoenix, si pemeran Joker.

Lalu, apakah kali ini ia akan berhasil? Jika hanya melihat akting, seharusnya ya. Tapi, Hopkins punya masalah yang sama dengan Meryl Streep. Ia akan bermain sangat bagus. Di film apa pun. Akting yang luar biasa bukan sesuatu yang spesial. Ketika dalam satu musim penghargaan ada aktor yang istimewa, maka aktor tersebut akan menang. Hopkins (seperti halnya Streep), akan ’’dikalahkan’’. Karena toh tahun depan akan tampil bagus lagi di film lain. Selalu begitu. 

Nah, tahun ini, kecenderungan anggota Academy Awards akan memberikan penghargaan posthumous kepada Chadwick Boseman. Yang bermain prima dalam Ma Rainey’s Black Bottom. Ini adalah kesempatan terakhir memberikan award kepada bintang Black Panther itu. Tampaknya, Hopkins sekali lagi harus mengalah… (ekn)


Editor :
Publisher :
Sumber :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button